Maura





Maura, aku tidak tahu darimana dan kapan kau datang. Tahu-tahu kau sudah ada di depan pintuku. Kau sangat terkejut saat melihatku tengah telanjang bersama perempuan lain yang tidak kau kenal. Ah, jika pun aku bersama perempuan lain yang kau kenal, kau juga akan terkejut, bahkan lebih. mataku masih sadar untuk mengenali tetes air yang keluar dari matamu sebagai air mata. Kau pun beranjak pergi dengan segera. Aku merasakan penyesalan yang sangat. Ya. Aku sangat menyesal Maura.........

Maura, aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu di sebuah kelab malam di bilangan ibukota. Baru pertama kali itu aku masuk ke kelab malam setelah beberapa tahun aku kerja di perusahaan dealer mobil merek terkenal. Maklumlah, aku datang dari kota dimana norma-norma agama, adab kesopanan dan kesusilaan sangat dijunjung Tinggi. Kelab malam sangat tabu bagiku. Tapi entah, malam itu ada sebuah kekuatan aneh yang menyuruh kakiku untuk memasuki tempat aku akan bertemu denganmu. Kekuatan setan kah?  Aku tidak mau ambil pusing dengan itu.  Yang jelas,  saat itu aku tengah dalam kondisi kalut. Perusahaanku melakukan perampingan-perampingan dan akulah salah satu korbannya. Kau datang mendekatiku menawarkan satu gelas minuman. Aku menerimanya kemudian Kau menyulutkan sebatang rokok di mulutku dengan apimu. Kau tanya kepadaku tentang diriku.

Mulailah aku bercerita tentang semua masalahku, termasuk siapa diriku dan masa laluku. Dalam keremangan aku masih bisa mengenali mimik wajahmu yang dengan serius dan penuh perhatian untuk mendengarkanku. Ah, kau memang pandai. Kau selalu tahu apa yang harus kau lakukan untuk tamu-tamumu, termasuk tamu pemula sepertiku. Aku yakin kau tahu saat itu kalau aku baru pertama kali datang ke kelab malam itu. Aku yakin kau tahu, saat itu aku sangat membutuhkan teman bicara. Pertemuan kita malam itu berakhir di sebuah kamar hotel yang kau sewa dengan kartu kreditku. Kau memapahku keluar dari kelab malam itu. Kau juga lah yang memanggilkan taksi dan mengantarku ke hotel. Kau memang profesional, Maura. Kau tinggalkan aku telentang sendirian di kamar itu, masih dalam pakaian lengkap yang sama yang aku kenakan sebelumnya. Kau tidak melucutinya sedikitpun, kecuali kau ambil dompetku yang paginya aku temukan tergeletak di atas meja kamar. Setelah aku periksa, tidak banyak uang yang telah kau ambil. Kau mengambil secukupnya saja sebesar hakmu yang telah melayaniku, ditambah dengan ongkos taksi tentunya. Aku kagum padamu, Maura. Aku selalu kagum kepada orang yang hanya mengambil tidak lebih dari apa yang menjadi haknya. Aku selalu kagum akan kejujuran.

Malam-malam selanjutnya, aku menjadi sering ke tempat kelab malam hanya untuk sekedar melihatmu sampai memberanikan diri untuk mengajakmu bicara meski sebentar. Apakah kau masih ingat aku waktu itu, Maura. Mungkin saja kau lupa, karena tentunya banyak sekali klien dan pelanggan yang keluar masuk ke kelab malam dan kau tidak bisa menghafalnya satu persatu. Tidak jarang aku melihatmu tengah melayani lelaki lain. Terpaksa aku harus menunggu sampai kau selesai dengannya. Itu membuatku tersiksa oleh cemburu, Maura. Kau tahu itu? Ah, siapalah aku siapalah kau. Kau hanyalah pelayan kelab malam yang memang dibayar untuk melayani siapapun.  Aku hanyalah seorang bekas pengunjung kelab Malam. Apalah hakku mencemburuimu. Apalah hakku untuk melarangmu dengan lelaki lain.

Pada suatu malam, kau langsung menghampiriku saat melihat kedatanganku. Kau tinggalkan seorang lelaki lain yang tengah berbicara denganmu di depan meja bartender. Kau membawa dua gelas minuman penuh. Satu gelas kau berikan padaku dengan senyum khasmu. Senyum yang selalu menggoda siapapun yang melihatnya.

”Ah, Maura ingat kanda,” katamu. ”Gimana kerjaannya? Jadi dipecat? Sudah dapat yang baru?” Kau menembakiku dengan pertanyaan.

Aku menjawabnya satu persatu dengan kesal. Kau mulai bertanya lagi pertanyaan lain untuk mencairkan kekesalanku. Aku tahu kau melihatnya di wajahku dan nada bicaraku. Kau terus menanyaiku dan mengajakku bicara. Sesekali kau tertawa dan aku pun ikut tertawa. Ah, Maura, semua terasa begitu indah saat aku melihatmu tertawa, seakan tidak ada di dunia ini yang tidak membuatmu tertawa. Hidup terasa begitu ringan.

"Dance yuk?” ajakmu. Aku enggan menuruti ajakanmu, namun kau menarikku dengan segera. Aku tak bisa menolak. Kau seketika melonjak mengikuti hentakan musik yang meraung memekakkan telinga. 

”Sudahlah, gak usah dipikirin. Tempat ini memang buat melupakan masalah-masalah,” teriakmu ingin mengalahkan kerasnya suara musik. Perlahan dan perlahan tubuhku bergetar sendiri, tersihir oleh kerlap-kerlip lampu dan hentakan-hentakan irama lagu. Benar katamu. Tempat ini memang untuk melupakan masalah.

Aku lupa siapa diriku. Aku lupa dari mana asalku. Aku lupa untuk apa keberadaanku dikota ini. Aku lupa, Maura, hanya wajahmu saja yang membuatku tertawa. Liak-liuk tubuhmu membangkitkan nafsu kelelakianku. Membuai kesadaranku. Setelah aku menahannya begitu lama, akhirnya terjadi juga. Aku mencumbuimu di kamar hotel itu. Aku ingin menyesal. Namun perkataanmu selanjutnya malah membuatku bangga.

”Ini pertama kalinya Maura melakukannya dengan seorang laki-laki,” bisikmu. Benarkah? Kalau begitu, aku menjadi orang yang terpilih. Kenapa? Kau tidak menjawab. Senyumanmu lah yang menjawabnya. Senyum yang bisa melupakan segala beban dan penat harianku. Kau menarik selimut dan menutupi tubuh telanjangmu di sampingku. Kau pun lalu terlelap Maura.

Maura. Aku mengagumimu. Setelah sekian lama kau bergelut dengan dunia itu, kau masih saja menjaga kesucianmu yang akhirnya kau berikan kepadaku. Kenapa? Mengapa aku menjadi yang terpilih? Apa yang kau lihat padaku? Aku hanyalah pengangguran. Aku bukan seorang yang gagah. Aku bukan seseorang yang berpenampilan menarik Kita pun belum saling mengenal lebih dekat. Apakah kau yakin begitu saja kepadaku? Aku tidak punya apa-apa yang bisa aku berikan kepadamu. Cinta? Aku sendiri ragu apakah aku bisa memberi dan menjaga cinta ini.

”Tapi kanda punya hati untuk belajar mencintai dan menerima apa yang telah nasib berikan kepada kanda, apapun itu. Kanda punya pikiran untuk berpikir dan merencanakan apa yang akan kanda lakukan untuk keluar dari masalah-masalah. Kanda punya mata yang tajam, yang bisa kanda gunakan untuk belajar dari hal-hal yang ada di sekeliling kanda dan belajar dari kesalahan kanda. Kanda punya semua itu. Itu yang tidak Maura lihat pada orang lain sebelum kanda. Mereka hanya mengeluh dan mengeluhkan masalah-masalah mereka di meja kelab malam itu, meski memang kanda pernah mengeluh di depan Maura, Maura tahu kanda hanya mencibir masalah saja, mengutuk masalah kanda, tetapi tidak benar-benar mengeluhkannya, karena kanda yakin akan dapat melaluinya dan melangkah sebagai seorang pemenang,” katamu suatu ketika.

”Hati yang seperti apa? Pikiran yang seperti apa? Mata yang seperti apa? Kau lihat sendiri kanda masih saja seperti ini, tanpa penghasilan yang pasti. Hati, pikiran dan mata kanda tidak dapat memberi maura materi apa-apa.”

”Maura tidak butuh semua itu. Jika itu yang Maura cari, Maura sudah bisa mendapatkannya dari dulu, sebelum bertemu dengan kanda. Maura ingin keluar dari dunia seperti ini. Maura sudah terlalu muak hidup dalam kubangan lumpur itu. Maura sudah terlalu muak melayani keluhan-keluhan laki-laki, mendengar mimpi-mimpi dan kegagalan-kegagalan mereka. Mereka pikir hanya mereka yang punya masalah? Mereka pikir hanya mereka yang bertangungjawab atas dunia? Mereka pikir, Maura dan perempuan-perempuan yang lain hanya menjadi tempat sampah, tempat pelepasan segala masalah yang dimiliki laki-laki? Mereka pikir, semuanya bisa dibeli dengan uang? Mereka pikir Maura tidak punya mimpi?” ungkapmu dengan berapi-api

”Maura..”

”Aku ingin kanda bersamaku. Maura ingin kanda membantuku keluar dari dunia itu. Ajak Maura kemana pun kanda mau. Kanda bisa ajak Maura ke desa tempat asal kanda, Maura ingin dekat dengan Tuhan. Maura ingin dekat dengan orang-orang biasa, bukan orang-orang yang berpikir bisa membeli segalanya dengan uang. Maura ingin kehangatan sebuah keluarga, orang tua, saudara. Kanda punya semua itu. Kanda punya keluarga yang setia menunggu kanda di desa, Kanda masih punya orang-orang yang baik di sekitar kanda. Kanda… kaulah orang itu. Orang yang Maura tunggu.”

”kanda? Maura…”

Maura Kau lekat di pelukanku. Menangis. Baru kali ini seorang perempuan menangis di pelukanku. Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Aku hanya diam, membelai dan mengusap rambutmu, menenangkanmu. Sementara kau masih tetap menangis. Kau ceritakan kisah hidupmu. Aku ingin tersenyum sebenarnya. Biasanya aku yang bercerita dan berkeluh kesah tentangku dan kau hanya mendengarkan, kali ini akulah yang harus mendengarkan.

Maura engkau seorang gadis kecil yang tumbuh di perempatan dan jalan-jalan kota. Menjual suaramu di pintu-pintu mobil dan angkutan. engkau sudah tidak punya siapa-siapa lagi. kau tidak ingat apakah kau pernah mempunyai orang tua atau saudara. Orang tuamu adalah jalanan yang memeliharamu. Saudara-saudaramu adalah anak jalanan yang lain yang selalu ada bersamamu. Hari ke hari, tahun ke tahun membuatmu tumbuh dan sadar, engkau harus mempercantik dirimu agar bisa mencari uang lebih banyak. Berbekal kemampuan bicara yang dipelajarimu dari sebuah sanggar anak jalanan yang pernah diikutimu, mulailah engkau mencari kerja. Mulanya kau hanya menjadi sales minuman berenergi, berkeliling dari satu pertokoan ke pertokoan yang lain. Dari sana kau mulai berkenalan dengan orang-orang cina pemilik toko. Dari orang-orang cina pemilik toko itulah engkau diperkenalkan dengan seorang pemilik kelab malam di pusat kota. Wajahmu yang cantik dan penampilanmu yang menarik membuat engkau ditawari untuk bekerja sebagai waitress di kelab malam itu.

Maura engkau sangat senang dan  bersyukur dengan pekerjaan barumu, kau bisa mengontrak sebuah rumah kecil yang kau gunakan sebagai tempat istirahat dan terkadang kau gunakan untuk menampung anak-anak jalanan yang lain yang engkau temui. Berbekal perjalanan hidupmu yang keras, engkau dapat dengan mudah menghadapi kemauan dan keisengan laki-laki, dari orang biasa hingga yang eksekutif muda sekalipun. Apa yang menjadi bekalmu hanyalah hati untuk berlapang dan bersabar, pikiran untuk mencerna persoalan dan permasalahan hidup, dan mata untuk melihat dan belajar dari apa yang ada di sekelilingmu yang ditemui sehari-hari.

Maura, jika kau lihat wajah polosmu sendiri saat kau tidur, kau tidak akan mengira bahwa perjalanan dan hidupmu sungguh berat. Wajahmu polos tak berdosa, tenang dalam buaian mimpi-mimpi. Apakah kau bermimpi, Maura? Apa yang kau impikan? Mungkinkah kau bermimpi bertemu dengan seorang pangeran yang menunggang kuda putih dan menyelamatkanmu dari puncak menara yang mengurungmu? Akukah yang kau pikir pangeranmu?

Malam itu kau tidak ada di tempatmu, Maura. Padahal aku membutuhkanmu. Aku ingin berkeluh kesah di depanmu tentang pekerjaan baruku, atasan baruku, dan orang-orang baru di sekelilingku. Betapa mereka membuatku asing dan terasing. Aku ingin berbagi tentang itu semua. Maura kau di mana? Mungkinkah kau tengah melayani seorang pelangganmu? Aku tergoda untuk berpikir bahwa kau tengah bermesraan dengan seorang pelanggan lain yang lebih segalanya dariku. Lebih tampan, lebih kaya, lebih menjanjikan masa depan dari pada aku. Aku kalut. Aku takut. Aku takut ditinggal sendirian tanpamu.

Maura. Lalu aku bertemu wanita itu. Ia wanita yang sama denganku. Ia dilanda masalah dalam pekerjaannya. Kami pun cepat akrab. Kami pun mabuk bersama. Kami saling cerita tentang diri kami dan pekerjaan-pekerjaan kami yang membuat kami serasa seperti robot yang telah diprogram untuk menaati aturan. Aku terlena, Maura. Aku lupa denganmu. Aku mengajaknya ke tempat tinggalku. Dan peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang telah kau lihat sendiri.

Maura, setelah pulih kesadaranku, aku segera mencarimu tengah malam itu. Aku mencarimu ke kelab malammu. Tapi kau tidak ada di sana. Aku bertanya kepada seorang temanmu. Ia bilang kau baru saja masuk dengan tergesa-gesa, duduk sebentar dan keluar entah kemana. Ia sempat melihat air matamu keluar. Darinya pula aku tahu, ternyata kau belum melayani seorang pun malam itu. Kau datang terlambat karena salah seorang anak jalanan di tempatmu mendadak sakit dan kau harus menungguinya. Kau belum datang saat aku datang dan bertemu wanita itu.

Aku segera berlari keluar mencarimu, Maura. Aku ke rumah kontrakanmu. Di sana hanya ada anak-anak yang tengah berkerumun. Satu orang anak terbaring sakit. Aku mencarimu di jalan-jalan kota. Lalu aku menemukanmu di sebuah perempatan jalan. Kau tengah berdiri mematung, bersandar pada tiang lampu. Kau tidak pedulikan siulan-siulan laki-laki dan tatapan-tatapan mereka yang melintas di depanmu. Pandanganmu kosong ke horison langit di depanmu.

”Maura, kanda sangat menyesal. kanda minta maaf.”

”Kanda puas? Kanda telah mengangkat maura lebih tinggi hanya untuk kanda jatuhkan lebih keras lagi? Kanda tega! Kau pengkhianat. Kau busuk!”

”Maura…”

”Cukup. Maura tidak mau mendengar lagi alasan kanda. tinggalkan aku. Biarkan aku sendiri di sini.”

”Apakah maura ingin kembali lagi ke masa lalu di sini? maura tidak merasa kasihan kepada anak-anak yang sekarang tengah menunggu maura di rumah? Muara ingin menambah lagi jumlah mereka? Maura, jika sesal dan maaf saja tidak cukup, sekarang juga kanda minta maura ikut dengan kanda"

Detik itu juga aku mengajakmu ke stasiun. Beruntung masih ada kereta malam yang belum berangkat. Kau terus bertanya kita mau kemana. Ke tempat impianmu, jawabku. Kereta melaju. Membawa kami ke arah timur, menjemput matahari terbit, ke tempat di mana hari berawal. Di timur sana kotaku, desa asalku berada, tempat di mana aku lahir dan dibesarkan dalam keramahan orang-orang. Orang-orang yang tidak selalu berpikir tentang uang untuk mencari keindahan dan kebahagiaan...


Sukabumi, 10 juni 2012 

Labels