"Tidaaakkkkk! Pokoknya itu
tidak adil!" seru Pangeran Pertama.
"Tidaaakkkkk! Semuanya
penipu!" teriak Pangeran Kedua.
"Curang! Semua yang ada di
sini curang, tidak berperikemanusiaan!" sahut Pangeran Ketiga.
"Kamu, Pangeran Ketiga! Anak
kecil, kamu tahu apa? Kamu hanya mau mendapatkan apa yang bukan jatahmu! Dan,
aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi selama hidupku!" Demikian sergah
Pangeran Pertama, kali ini seraya membetulkan posisi mahkotanya yang setengah
miring di atas kepalanya yang botak. Pangeran Kedua melihat mereka berdua dan
mengernyitkan dahi, lalu membuka mulutnya yang besar dan berteriak,
"Kamu juga jangan sok tahu, kamu pikir
kamu sebagai pangeran paling tua, kamu akan mendapatkan segalanya?"
Pangeran Ketiga yang sesungguhnya
sudah berumur 21 tahun, tatkala melihat kedua kakaknya bertengkar hebat,
langsung berjongkok dan menutupi wajah dengan jubahnya. Walaupun paras
bundarnya itu tertutup, isak tangisnya masih terdengar ke luar.
"Arghhh! Ini lagi! Dasar
cengeng! Kamu sebaiknya jangan menjadi anak raja, tapi jadi anak babi,
tahu?!" cetus kedua kakaknya serempak seolah sudah berlatih sebelumnya.
Lalu, tiba-tiba pintu besar istana terbuka. Tampaklah seorang bertutup kepala
biru yang tampaknya kebesaran untuk ukuran kepalanya. la berjanggut lebat
berwarna putih, tubuhnya diselubungi sepasang sayap berwarna biru muda. la
masuk dengan diiringi sekitar 20 tentara yang tampak jelas kerepotan dengan
tombak-tombak mereka yang kepanjangan. "Aduh, hati-hati dong membawa
tongkatrnu!" kata salah seorang pengawal yang kepalanya baru saja
tersundul dari belakang. "Diaammm!" teriak orang bertutup kepala biru
tersebut. Semua orang serentak terdiam. Orang itu pun melangkah maju seorang
sendiri, tanpa sadar kalau para pengawalnya terdiam di tempat dan tidak ikut
ber jalan maju. Lalu, mendadak ia berhenti. Demi merasakan ada yang tidak
beres, ia menoleh ke belakang. Ketika melihat semua pengawalnya membeku di
tempat, ia berseru marah,
"Dasar goblok! Siapa yang
suruh kalian diam? Maju sini! Jangan cerewet! Bukannya diam di tempat,
tolol!" Para pasukan kembali terkejut. Kalang kabut dengan tongkat-tongkat
mereka yang kepanjangan, mereka pun segera berlari maju. Dan... berhenti tepat
5 cm di belakang pria bersayap biru itu!
"Wah, sekarang ada apa lagi?
Mengapa Penasihat Kerajaan datang tanya Pangeran Pertama. la berkata sambil
membungkukkan tubuh dan yangmenyunggingkan seulas senyum, mengejek si
orang berpenampilan serbabiru.
"Eh, memangnya kita harus
membungkuk, ya, kalau dia datang?" tanya Pangeran Ketiga seraya berbisik
pada Pangeran Kedua.
"Tidak, goblok! Pangeran
Pertama cuma ingin meledek dia saja. Dasar, gendut telmi!" jawab Pangeran
Kedua ketus.
"Eh, apa itu telmi?"
tanya Pangeran Ketiga lagi.
"Rasanya kalian bertiga ini
memang perlu sebuah aturan dan pendidikan yang baku di bangku sekolah
kerajaan...." ujar si Penasihat Kerajaan.
"Hei! Jaga kata-katamu,
Penasihat Kerajaan!" sergah Pangeran Kedua. Orang serbabiru itu tidak
berkata apa-apa. la hanya menarik napas panjang, menebah dada, lalu berkata,
"Kalau saja ayah kalian
masih hidup."
Pangeran Ketiga lalu mendekati Pangeran
Pertama dan bertanya, "Memangnya Ayahanda di mana?"
"Mati, bodoh! Ayahanda sudah
meninggal! Berapa kali lagi kita harus menjelaskan pada orang tolol ini kalau
orang mati tidak bisa hidup kembali?" la berseru keras. Tubuhnya yang
kurus tinggi sedikit oleng tatkala ia harus membetulkan kembali letak mahkota
di atas kepalanya yang botak dan licin. "Dia mirip kamu...," balas
Pangeran Kedua yang juga tinggi kurus namun berambut panjang bak seniman
kampung.
"Apa kamu bilang?! Jangan
sekali-kali kamu samakan aku dengan kodok buduk ini!"
Pangeran Pertama tiba-tiba saja
meloncat, menubruk Pangeran Kedua hingga jatuh terpental. Mereka pun saling
pukul dan Pangeran Ketiga kembali berjongkok menutupi wajah dengan jubahnya. Ia
menangis, kali ini meraung-raung. Demi melihat perkelahian itu, si Penasihat
Kerajaan hanya bisa menghela napas, sementara para prajurit tampak kesulitan
menahan tawa.
Kerajaan antah-berantah itu
terletak di sebuah daerah yang amat luas, dengan kekayaan yang melimpah dan
diperintah oleh seorang raja yang bijaksana. Sang Baginda Raja mempunyai 14
istri dengan hanya tiga orang anak. Sayangnya, ketiga putra tersebut tidak
mewarisi sifat-sifat ayah mereka.
Tiga hari yang lalu, Sang Baginda
Raja yang terkenal keperkasaannya itu secara mengejutkan wafat di atas
ranjangnya. Menurut para tabib kerajaan yang datang memeriksa, Sang Baginda
Raja terkena serangan jantung yang langka dan belum ada obatnya pada zaman itu.
Sang Baginda Raja kemudian dknakamkan tak jauh dari istana, di pemakaman raja-raja.
la meninggalkan warisan harta benda yang sangat banyak, ribuan hektar tanah,
emas, dan berlian. Namun sayangnya, bukan otak dan kepandaiannya yang ia
wariskan...
"Ayah kalian meninggalkan
berbagai warisan yang sudah diatur sedemikian rupa, dan kalian harus
menuruti..." Orang berpenampilan serbabiru itu tiba-tiba menyeletuk
sendiri, tidak sabaran melihat kelakuan bodoh
"Mana bisa begitu, semuanya
tidak adil!" sentak Pangeran Pertama yang kini sibuk mencekik Pangeran
Kedua yang tertelentang di bawahnya.
"Semua ini tidak terjadi
kalau orang tolol ini mau adil!" timpal Pangeran Kedua yang sejak tadi
menarik-narik telinga Pangeran Pertama ke atas dan ke bawah. Pangeran Ketiga
masih saja berjongkok, terus menangis dan mengusap hidungnya.
"Kalian harus lebih bisa
mengendalikan diri," ujar si Penasihat Kerajaan yang ternyata juga
mengenakan sepatu berwarna biru, seraya kembali menarik napas. Para prajurit
semakin kesulitan menahan tawa.
"Sebenarnya apa yang kalian
ributkan di sini?" tanya si Penasihat Kerajaan.
"Aku tidak suka dengan cara
Ayahanda membagi bongkahan berliannya untuk kami bertiga... " jawab
Pangeran Pertama. Kali ini ia sudah berdiri tegak, dan lagilagi membetulkan
letak mahkotanya yang miring. Pangeran Kedua sengaja berdiri di belakang seraya
mengacungacungkan jari tengahnya ke arah Pangeran Pertama.
"Yah, terserah kalian mau
ngomong apa. Namun, itu lah yang ada di surat wasiat Ayahanda kalian."
Tukas si Penasihat Kerajaan yang berpenampilan serba biru itu. Suasana mendadak
hening sejenak. Kemudian si Penasihat Kerajaan mengambil selembar kertas yang
tergulung bak teropong, membukanya, dan membacanya,
"Dengarkan ini. Ini adalah
cara pembagian berlian untuk kalian bertiga. Saya rasa pembagian yang lain
sudah tidak ada masalah lagi, bukan? Hanya soal pembagian berliannya
saja."
"Ya, memang begitu."
kata Pangeran Ketiga cepat, sambil mengintip dari balik jubahnya.
"Diam!" Sergah kedua
pangeran dan si Penasihat Kerajaan dengan kompaknya. Pangeran Ketiga kembali
meraung sambil menudungi kepalanya dengan jubah. Penasihat Kerajaan berkata,
"Hm... demikian pesan Sang
Baginda Raja: 'Anak-anakku, apabila orang yang senantiasa berpakaian serbabiru
itu membacakan surat ini, berarti Ayahanda kalian kini telah mangkat. Janganlah
kalian bertiga bersedih hati. Walaupun Ayahanda tahu bahwa itu tidak mungkin,
dan sebagai seorang ayah, tentu Ayahanda sangat mencintai kalian bertiga
....'"
"Hik...."
"Diam!" Serentak kedua
pangeran yang lebih tua dan si Penasihat Kerajaan berteriak kembali kepada
Pangeran Ketiga yang tak kuat menahan rasa harunya mendengar pesan terakhir
Ayahandanya. "Mari kita sambung lagi," ujar si Penasihat Kerajaan. '
"Oleh karena Ayahanda sangat
mencintai kalian bertiga, Ayahanda akan memberi kalian bertiga warisan sebagai
berikut, bla... bla... bla ....' Kita langsung saja ke bagian pembagian
bongkahan berlian, oke?" Tanya si Penasihat Kerajaan.
"Ya, cepat, cepat!"
Balas Pangeran Kedua.
"Oke, kita mulai lagi. 'Dan
setelah itu, bongkahan berlian juga akan dibagi di antara kalian bertiga dan
Penasihat Kerajaan.' Hm... itu artinya saya juga mendapat bagian."
"Cepat!" Kali ini ketiga pangeran
yang berteriak.
"Oke,oke..., begini lah
pembagiannya: 'Kerajaan mempunyai 36 bongkah berlian sebesar kepala rusa, di
mana semua bongkahan akan dibagi menjadi empat bagian yang adil menurut saya
sendiri. Untuk Penasihat Kerajaan diberikan hanya satu bongkah. Itu berarti
sisanya yang 35 bongkah berlian untuk ketiga pangeran.” Semua terdiam sebentar.
"Semua 35 bongkah berlian untuk ketiga pangeran.'"
Semua terdiam sebentar.
"Semua 35 bongkah berlian itu, dibagi seperti ini: 1.1/2 dari 35 akan
diberikan kepada Pangeran Pertama.
2. 1 /3 dari 35 akan diberikan
kepada Pangeran Kedua. 3. 1/9 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Ketiga.
Demikianlah keputusanku sebagai Sang Baginda Raja yang adil dan bijaksana.
Wassalam...."
"Nah! Itu yang namanya tidak
adil. Bayangkan saja kalau aku mendapatkan setengah dari 35 bongkah itu.
Bukankah hasilnya adalah 17,5 bongkah? Mana mungkin bongkahan berlian itu
dipotong setengah? Tidak masuk di akal bukan? Oleh karena itu, aku menuntut
agar mendapat 18 bongkah!" cetus Pangeran Pertama.
"Itu akal bulus Pangeran
Pertama, bukankah begitu Penasihat Kerajaan? Kalau ia menghendaki 18 bongkah,
maka saya yang mendapatkan sepertiga bagian dari 35
'Tapi, kalau itu bisa
menyelesaikan masalah kenapa tidak kita coba saja?" Tiba-tiba Pangeran
Ketiga yang sedari tadi mendengarkan sambil mengunyah cokelat berbicara.
"Diaammmm!" Kini ada
sekitar 43 orang yang serentak berteriak. Pangeran Ketiga pun menyembunyikan
kepalanya dan terus mengunyah cokelat di balik jubahnya.
"Ini harus segera
diselesaikan!" Pangeran Pertama berdiri dan mendongakkan dagunya, mencoba
tampil sedikit berwibawa. Sebaliknya, ia malah tampak memalukan karena terus
bergulat membetulkan mahkotanya yang kini menutupi matanya. Tetua Keempat
kemudian ikut berdiri dan berkata,
"Ugh, sebenernya seh ini
semua... ugh, urusan Penasihat Kerajaan, kenapa bukan dia ajah yang ngurus,
ugh...." Tetua Keenam menimpali,
"Yo... betul yo...."
Ruang rapat kini bak ruang debat kusir.... Semua ingin berpendapat, semua
berdiri, semua berteriak. Bahkan, Pangeran Ketiga ikut-ikutan berdiri, melihat semuanya
yang terjadi, mengepalkan tangannya, dan menangis lagi.... Hari terus berganti
hari. Kali ini si Penasihat Kerajaan, yang ternyata bermata biru senada dengan
pakaiannya, lebih pusing dari hari-hari biasanya. la kini ditunjuk oleh dewan
yang beranggotakan ketiga pangeran, 14 permaisuri, dan banyak tetua untuk
menjadi penanggung jawab surat wasiat Sang Baginda Raja. Kini, setiap hari ia
mengurung diri di dalam kamarnya, sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Janggutnya semakin tipis. Dikarenakan stres berat, ia terus menarik-narik
janggutnya.
"Apa yang harus
kulakukan?" Ia bergumam sendiri. "Kalau aku memanggil Divka, mungkin
segalanya akan menjadi tenang. Tapi, mungkin juga malah memperburuk keadaan.
Kalau aku mencoba menyelesaikannya sendiri... bagaimana caranya?"
Sementara itu, nun jauh di suatu
tempat, ada sebuah rumah tua yang bentuknya seperti sebuah jamur raksasa. Dari
luar terlihat jelas kalau itu adalah rumah yang sudah tidak terurus. Sebelum
dapat masuk ke dalam, Anda harus lebih dulu melewati ilalang yang tingginya
hampir selutut. Ada sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu kali yang
dipasang secara serampangan. Jalan kecil itu langsung mengarah ke pintu depan
rumah. Di pinggiran jalan tampak berbagai macam tumbuhan yang tidak jelas
rupanya, dan tidak jelas pula namanya Daun pintu rumah itu mungkin terbuat dari
kayu jati yang sudah berusia ratusan tahun, miring, dan tidak pernah terkunci.
Lagi pula siapa yang berani masuk ke dalam rumah Divka?
"Tolong... jangan...
ampun!" teriak seorang pria yang kedua tangannya terikat di bagian
belakang kepalanya, sementara kakinya terikat ke sebuah kursi. Pria itu duduk
tanpa daya.
"Bagaimana bisa jangan? Kan
itu termasuk dalam perjanjian kita!" Sambut seorang gadis muda yang amat
cantik. Wajahnya putih halus, hidungnya bangir bagaikan lereng gunung dengan
lekukan tajam, dan dagunya yang panjang menunjukkan keteguhan yang sempurna.
Anak matanya berwarna cokelat, lancip wajahnya diselimuti oleh rambut hitam panjangnya.
"Tapi, aku pikir kau
bercanda," ujar pria itu lagi sembari menutup mata. Rupanya ia sudah tak
berdaya. Badannya yang kekar dengan rambut cepak tidak menambah kegagahannya
dalam posisinya yang memelas saat ini.
"Heh! Memangnya aku pernah
bercanda? Memangnya aku terkenal karena aku suka bercanda?" Sergah wanita
muda itu. Tubuhnya yang tinggi langsing dengan lekukan indah dan terbungkus
pakaian ketat serba hitam itu berjalan memutari pria tersebut, perlahan-lahan.
Ia seolah menikmati apa yang sedang dilihatnya. Sesekali sayap hitamnya
dikibaskibaskan untuk menggoda pria tersebut. "Tapi... aku tidak
mau...."
"Lalu, bagaimana dengan perjanjian
kita?"
"Batalkan saja!"
"Enak saja! Kau pikir bisa
begitu saja berjanji pada wanita, lalu menariknya kembali? Dasar pria!"
Divka berjalan menghampirinya. Pria itu menutup matanya kembali dan mengulum
bibirnya masuk ke dalam. Tubuh besarnya ditarik sedemikian rupa, memepetkan
dirinya yang sudah terikat lebih masuk lagi ke dalam sandaran kursi.
"Jangan... jangan cium
aku...," pintanya memelas. Divka menghampirinya, menutup matanya, memegang
kedua sisi sisi sandaran kursi tersebut, dan sedikit membungkukkan tubuh
eloknya. Sayap hitamnya sebagian menyentuh tanah dan menutupi kedua kakinya
yang tertekuk, kemudian maju mendekat. Ia menempelkan bibirnya pada mulut pria
yang sedang berusaha menyembunyikan bibirnya itu. Mengecupnya. Mendadak
terdengar bunyi,
"ZZZZZ.. . Kabuum...!"
"Krookk... Krooook!"
Divka kembali berdiri dan tersenyum simpul. la
melihat ke bawah. Tangan kanannya terjulur ke atas bantalan kursi dan mengambil
kodok hijau yang lumayan besar itu seraya berkata,
"Lain kali kalau berjanji
pada wanita harus tepat waktu, ya, sayang. Masa aku harus menunggumu lebih dari
15 menit? Kamu kan harusnya tahu aku tidak suka pria yang tidak tepat
waktu."
"Kroook!" Kodok hijau
itu menjawab.
Dengan enteng Divka membawanya
masuk ke dalam sebuah ruangan. Bagian dalamnya tampak lebih kotor dari ruang
sebelumnya. Di sana terdapat sebuah meja yang amat besar, dihiasi tumpukan buku
yang berserakan memenuhi bagian atasnya. Sebagian terbuka dan sebagian
tertutup. Buku-buku kuno nan tebal itu berisi ribuan mantra yang Divka pelajari
selama 400 tahun terakhir ini. la lalu berjalan menuju sebuah sudut. Di sana
terdapat sebuah kolam yang lumayan besar, dihiasi bebatuan dan beberapa jenis
rerumputan. Dengan gerakan cepat, dilemparkannya kodok tersebut ke dalam kolam.
"Byur!"
Seketika itu juga kodok-kodok
lain keluar. Ada sekitar 40 kodok di dalam sana, seakan serempak keluar untuk
memberikan sambutan,
"Krook...krok! Krook!"
Mereka seolah sedang mengobrol.
"Sudah! Tinggal saja di sana
bersama teman-temanmu. Heran, mengapa semua pria sama saja!" ujar Divka
sembari keluar dan membanting pintu, membiarkannya gelap tanpa secercah cahaya
pun.
*********************************************************************************
"Ada yang tahu Ayahanda di
mana?" Tanya Pangeran Ketiga yang sedari tadi berputar-putar di koridor
kerajaan. Kali ini ia menanyai seorang prajurit yang kebetulan sedang berjaga
di sana dengan tongkat panjangnya.
"Kamu tahu Ayahanda di
mana?" Ulangnya lagi. Prajurit itu melihatnya dengan tatapan sedikit
bingung. Tubuhnya yang kecil ditegak-tegakkan, tampak jelas bingung hendak
menjawab apa.
"Tidak, Pangeran. Hamba
tidak tahu." Akhirnya ia berhasil menjawab.
"Eh, kamu sedang repot
tidak?"
"Ya, Pangeran. Hamba sedang
repot, Pangeran," jawabnya tergesa-gesa.
"Mau menemaniku?" Tanya
Pangeran Ketiga.
"Kee... ke mana?"
"Mencari Ayahanda!"
"Di mana Pangeran?"
"Kalau aku tahu, aku bisa
cari sendiri!" Kata Pangeran Ketiga ketus. Penjaga itu diam dan berpikir.
Ada yang salah di sini dan yang pasti itu bukan dirinya. Berdiri tegak menjaga
koridor memang bukan pekerjaan yang mengasyikkan. Namun, menemani Pangeran
Ketiga berjalan mencari Sang Baginda Raja adalah pekerjaan yang akan
menghabiskan waktunya hingga esok pagi.
"Tidak bisa, Pangeran, nanti Penasihat
Kerajaan bisa marah!" Si Penggawa pun memutuskan untuk menolak.
"Bilang saja aku yang menyuruh
kamu. Ayo, ikut!" Tangan Pangeran Ketiga langsung menyambar pergelangan
tangan kiri si Penggawa. Mereka berjalan beriringan hingga matahari terbenam
....
"Dong... dong...
dong...," jam kukuk berdentangsebanyak 11 kali, menunjukkan hari sudah
larut, pukul 11 malam. Dan, ruang rapat kini kembali dipenuhi para tetua,
Pangeran Pertama, Pangeran Kedua, dan Penasihat Kerajaan beserta 14 permaisuri
raja.
"Ugh, jadi bagaimana
neh?" Tetua Keempat membuka percakapan. Semua terdiam melihat Penasihat
Kerajaan yang sedang berdiri tepat di depan sudut meja. Penasihat raja yang
masih berpenampilan serbabiru itu tampak berdiri sedikit menunduk. Kedua
tangannya terkepal menempel di sisi atas meja, kepalanya tertunduk diam,
mungkin sedang berpikir. Pangeran Pertama tiba-tiba berdiri dari kursinya,
berdiri tegak mendongak sembari membetulkan mahkotanya yang hampir jatuh ke
belakang la menatap si Penasihat Kerajaan dan berkata,
"Sampai saat ini kita tidak
bisa menemukan Pangeran Ketiga. Menurutku akanlah sangat adil kalau bagian
berlian dia diambil untuk menyelesaikan masalah ini!"
"Aku sudah bilang tidak bisa
begitu caranya! Lagi pula aku sudah mengambil sebuah keputusan...."
Penasihat Kerajaan menjawab. Tangannya terangkat dari meja. la pun mendongak
seperti Pangeran Pertama dan berjalan mengitari meja besar yang berbentuk
persegi panjang itu. Suasana menjadi hening, semua orang menanti.... Setelah
berputar dan kembali ke tempamya semula, si Penasihat Kerajaan lalu berdiri
membelakangi meja dan semua yang hadir di sana. Tangannya terlipat. Dengan
suara pelan ia berkata,
"Kita akan memanggil
Divka...."
"Arrrrrgggggghhhhh!"
Serentak semua orang yang hadir
di ruang rapat berteriak. Pangeran Kedua jatuh dari kursinya dan terjerembap ke
belakang. Para tetua berbicara sendiri-sendiri sembati menunjuk-nunjuk si
Penasihat Kerajaan dan para permaisuri menangis meraung-raung. Tapi ada satu
orang yang tampak senang, ia adalah Permaisuri Kesebelas. Seulas senyum
tersungging di bibirnya.
"Itu adalah keputusan
akhirku sebagai Penasihat Raja, jadi tidak boleh diganggu gugat!" ujarnya
tanpa membalikkan tubuh, tetap membelakangi semua orang. Matanya sesekali
berusaha melirik ke kanan dan ke kiri untuk mengamati reaksi mereka, namun ia
mencoba untuk terlihat berwibawa, walaupun ia sendiri bingung. Suasana semakin
tegang. Semua orang saling menyalahkan dan Penasihat Kerajaan bersikukuh dengan
keputusannya.
"Brakkk!"
Mendadak pintu ruang rapat
terpentang lebar. Tampaklah Pangeran Ketiga yang berjalan sedikit sempoyongan
seperti orang yang baru menyelesaikan lari maraton. Keringat mengucur deras
dari kepalanya dan air matanya mengalir deras membasahi kerah jubahnya yang
berwarna merah muda. Di belakangnya terlihat penggawa penjaga koridor tadi
tengah menumpukan bobot tubuhnya pada tongkat panjang yang dipegangnya. Ia pun
tampak jelas keletihan dan napasnya terputus-putus.
"Aa... aaku punya kabar
buruk untuk kalian ssee... seemuaa...." Ujar Pangeran Ketiga sembari
menahan air matanya. Pembicaraan terhenti dan semua menunggu.
bersambung.........
Sumber: Mantra (Deddy Corbuzier)