Divka Part I

0 komentar



"Tidaaakkkkk! Pokoknya itu tidak adil!" seru Pangeran Pertama.
"Tidaaakkkkk! Semuanya penipu!" teriak Pangeran Kedua.
"Curang! Semua yang ada di sini curang, tidak berperikemanusiaan!" sahut Pangeran Ketiga.
"Kamu, Pangeran Ketiga! Anak kecil, kamu tahu apa? Kamu hanya mau mendapatkan apa yang bukan jatahmu! Dan, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi selama hidupku!" Demikian sergah Pangeran Pertama, kali ini seraya membetulkan posisi mahkotanya yang setengah miring di atas kepalanya yang botak. Pangeran Kedua melihat mereka berdua dan mengernyitkan dahi, lalu membuka mulutnya yang besar dan berteriak,
 "Kamu juga jangan sok tahu, kamu pikir kamu sebagai pangeran paling tua, kamu akan mendapatkan segalanya?"
Pangeran Ketiga yang sesungguhnya sudah berumur 21 tahun, tatkala melihat kedua kakaknya bertengkar hebat, langsung berjongkok dan menutupi wajah dengan jubahnya. Walaupun paras bundarnya itu tertutup, isak tangisnya masih terdengar ke luar.
"Arghhh! Ini lagi! Dasar cengeng! Kamu sebaiknya jangan menjadi anak raja, tapi jadi anak babi, tahu?!" cetus kedua kakaknya serempak seolah sudah berlatih sebelumnya. Lalu, tiba-tiba pintu besar istana terbuka. Tampaklah seorang bertutup kepala biru yang tampaknya kebesaran untuk ukuran kepalanya. la berjanggut lebat berwarna putih, tubuhnya diselubungi sepasang sayap berwarna biru muda. la masuk dengan diiringi sekitar 20 tentara yang tampak jelas kerepotan dengan tombak-tombak mereka yang kepanjangan. "Aduh, hati-hati dong membawa tongkatrnu!" kata salah seorang pengawal yang kepalanya baru saja tersundul dari belakang. "Diaammm!" teriak orang bertutup kepala biru tersebut. Semua orang serentak terdiam. Orang itu pun melangkah maju seorang sendiri, tanpa sadar kalau para pengawalnya terdiam di tempat dan tidak ikut ber jalan maju. Lalu, mendadak ia berhenti. Demi merasakan ada yang tidak beres, ia menoleh ke belakang. Ketika melihat semua pengawalnya membeku di tempat, ia berseru marah,
"Dasar goblok! Siapa yang suruh kalian diam? Maju sini! Jangan cerewet! Bukannya diam di tempat, tolol!" Para pasukan kembali terkejut. Kalang kabut dengan tongkat-tongkat mereka yang kepanjangan, mereka pun segera berlari maju. Dan... berhenti tepat 5 cm di belakang pria bersayap biru itu!
"Wah, sekarang ada apa lagi? Mengapa Penasihat Kerajaan datang tanya Pangeran Pertama. la berkata sambil membungkukkan tubuh dan  yangmenyunggingkan seulas senyum, mengejek si orang berpenampilan serbabiru.
"Eh, memangnya kita harus membungkuk, ya, kalau dia datang?" tanya Pangeran Ketiga seraya berbisik pada Pangeran Kedua.
"Tidak, goblok! Pangeran Pertama cuma ingin meledek dia saja. Dasar, gendut telmi!" jawab Pangeran Kedua ketus.
"Eh, apa itu telmi?" tanya Pangeran Ketiga lagi.
"Rasanya kalian bertiga ini memang perlu sebuah aturan dan pendidikan yang baku di bangku sekolah kerajaan...." ujar si Penasihat Kerajaan.
"Hei! Jaga kata-katamu, Penasihat Kerajaan!" sergah Pangeran Kedua. Orang serbabiru itu tidak berkata apa-apa. la hanya menarik napas panjang, menebah dada, lalu berkata,
"Kalau saja ayah kalian masih hidup."
 Pangeran Ketiga lalu mendekati Pangeran Pertama dan bertanya, "Memangnya Ayahanda di mana?"
"Mati, bodoh! Ayahanda sudah meninggal! Berapa kali lagi kita harus menjelaskan pada orang tolol ini kalau orang mati tidak bisa hidup kembali?" la berseru keras. Tubuhnya yang kurus tinggi sedikit oleng tatkala ia harus membetulkan kembali letak mahkota di atas kepalanya yang botak dan licin. "Dia mirip kamu...," balas Pangeran Kedua yang juga tinggi kurus namun berambut panjang bak seniman kampung.
"Apa kamu bilang?! Jangan sekali-kali kamu samakan aku dengan kodok buduk ini!"
Pangeran Pertama tiba-tiba saja meloncat, menubruk Pangeran Kedua hingga jatuh terpental. Mereka pun saling pukul dan Pangeran Ketiga kembali berjongkok menutupi wajah dengan jubahnya. Ia menangis, kali ini meraung-raung. Demi melihat perkelahian itu, si Penasihat Kerajaan hanya bisa menghela napas, sementara para prajurit tampak kesulitan menahan tawa.
Kerajaan antah-berantah itu terletak di sebuah daerah yang amat luas, dengan kekayaan yang melimpah dan diperintah oleh seorang raja yang bijaksana. Sang Baginda Raja mempunyai 14 istri dengan hanya tiga orang anak. Sayangnya, ketiga putra tersebut tidak mewarisi sifat-sifat ayah mereka.
Tiga hari yang lalu, Sang Baginda Raja yang terkenal keperkasaannya itu secara mengejutkan wafat di atas ranjangnya. Menurut para tabib kerajaan yang datang memeriksa, Sang Baginda Raja terkena serangan jantung yang langka dan belum ada obatnya pada zaman itu. Sang Baginda Raja kemudian dknakamkan tak jauh dari istana, di pemakaman raja-raja. la meninggalkan warisan harta benda yang sangat banyak, ribuan hektar tanah, emas, dan berlian. Namun sayangnya, bukan otak dan kepandaiannya yang ia wariskan...
"Ayah kalian meninggalkan berbagai warisan yang sudah diatur sedemikian rupa, dan kalian harus menuruti..." Orang berpenampilan serbabiru itu tiba-tiba menyeletuk sendiri, tidak sabaran melihat kelakuan bodoh
"Mana bisa begitu, semuanya tidak adil!" sentak Pangeran Pertama yang kini sibuk mencekik Pangeran Kedua yang tertelentang di bawahnya.
"Semua ini tidak terjadi kalau orang tolol ini mau adil!" timpal Pangeran Kedua yang sejak tadi menarik-narik telinga Pangeran Pertama ke atas dan ke bawah. Pangeran Ketiga masih saja berjongkok, terus menangis dan mengusap hidungnya.
"Kalian harus lebih bisa mengendalikan diri," ujar si Penasihat Kerajaan yang ternyata juga mengenakan sepatu berwarna biru, seraya kembali menarik napas. Para prajurit semakin kesulitan menahan tawa.
"Sebenarnya apa yang kalian ributkan di sini?" tanya si Penasihat Kerajaan.
"Aku tidak suka dengan cara Ayahanda membagi bongkahan berliannya untuk kami bertiga... " jawab Pangeran Pertama. Kali ini ia sudah berdiri tegak, dan lagilagi membetulkan letak mahkotanya yang miring. Pangeran Kedua sengaja berdiri di belakang seraya mengacungacungkan jari tengahnya ke arah Pangeran Pertama.
"Yah, terserah kalian mau ngomong apa. Namun, itu lah yang ada di surat wasiat Ayahanda kalian." Tukas si Penasihat Kerajaan yang berpenampilan serba biru itu. Suasana mendadak hening sejenak. Kemudian si Penasihat Kerajaan mengambil selembar kertas yang tergulung bak teropong, membukanya, dan membacanya,
"Dengarkan ini. Ini adalah cara pembagian berlian untuk kalian bertiga. Saya rasa pembagian yang lain sudah tidak ada masalah lagi, bukan? Hanya soal pembagian berliannya saja."
"Ya, memang begitu." kata Pangeran Ketiga cepat, sambil mengintip dari balik jubahnya.
"Diam!" Sergah kedua pangeran dan si Penasihat Kerajaan dengan kompaknya. Pangeran Ketiga kembali meraung sambil menudungi kepalanya dengan jubah. Penasihat Kerajaan berkata,
"Hm... demikian pesan Sang Baginda Raja: 'Anak-anakku, apabila orang yang senantiasa berpakaian serbabiru itu membacakan surat ini, berarti Ayahanda kalian kini telah mangkat. Janganlah kalian bertiga bersedih hati. Walaupun Ayahanda tahu bahwa itu tidak mungkin, dan sebagai seorang ayah, tentu Ayahanda sangat mencintai kalian bertiga ....'"
"Hik...."
"Diam!" Serentak kedua pangeran yang lebih tua dan si Penasihat Kerajaan berteriak kembali kepada Pangeran Ketiga yang tak kuat menahan rasa harunya mendengar pesan terakhir Ayahandanya. "Mari kita sambung lagi," ujar si Penasihat Kerajaan. '
"Oleh karena Ayahanda sangat mencintai kalian bertiga, Ayahanda akan memberi kalian bertiga warisan sebagai berikut, bla... bla... bla ....' Kita langsung saja ke bagian pembagian bongkahan berlian, oke?" Tanya si Penasihat Kerajaan.
"Ya, cepat, cepat!" Balas Pangeran Kedua.
"Oke, kita mulai lagi. 'Dan setelah itu, bongkahan berlian juga akan dibagi di antara kalian bertiga dan Penasihat Kerajaan.' Hm... itu artinya saya juga mendapat bagian."
 "Cepat!" Kali ini ketiga pangeran yang berteriak.
"Oke,oke..., begini lah pembagiannya: 'Kerajaan mempunyai 36 bongkah berlian sebesar kepala rusa, di mana semua bongkahan akan dibagi menjadi empat bagian yang adil menurut saya sendiri. Untuk Penasihat Kerajaan diberikan hanya satu bongkah. Itu berarti sisanya yang 35 bongkah berlian untuk ketiga pangeran.” Semua terdiam sebentar. "Semua 35 bongkah berlian untuk ketiga pangeran.'"
Semua terdiam sebentar. "Semua 35 bongkah berlian itu, dibagi seperti ini: 1.1/2 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Pertama.
2. 1 /3 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Kedua. 3. 1/9 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Ketiga. Demikianlah keputusanku sebagai Sang Baginda Raja yang adil dan bijaksana. Wassalam...."
"Nah! Itu yang namanya tidak adil. Bayangkan saja kalau aku mendapatkan setengah dari 35 bongkah itu. Bukankah hasilnya adalah 17,5 bongkah? Mana mungkin bongkahan berlian itu dipotong setengah? Tidak masuk di akal bukan? Oleh karena itu, aku menuntut agar mendapat 18 bongkah!" cetus Pangeran Pertama.
"Itu akal bulus Pangeran Pertama, bukankah begitu Penasihat Kerajaan? Kalau ia menghendaki 18 bongkah, maka saya yang mendapatkan sepertiga bagian dari 35
'Tapi, kalau itu bisa menyelesaikan masalah kenapa tidak kita coba saja?" Tiba-tiba Pangeran Ketiga yang sedari tadi mendengarkan sambil mengunyah cokelat berbicara.
"Diaammmm!" Kini ada sekitar 43 orang yang serentak berteriak. Pangeran Ketiga pun menyembunyikan kepalanya dan terus mengunyah cokelat di balik jubahnya.
"Ini harus segera diselesaikan!" Pangeran Pertama berdiri dan mendongakkan dagunya, mencoba tampil sedikit berwibawa. Sebaliknya, ia malah tampak memalukan karena terus bergulat membetulkan mahkotanya yang kini menutupi matanya. Tetua Keempat kemudian ikut berdiri dan berkata,
"Ugh, sebenernya seh ini semua... ugh, urusan Penasihat Kerajaan, kenapa bukan dia ajah yang ngurus, ugh...." Tetua Keenam menimpali,
"Yo... betul yo...." Ruang rapat kini bak ruang debat kusir.... Semua ingin berpendapat, semua berdiri, semua berteriak. Bahkan, Pangeran Ketiga ikut-ikutan berdiri, melihat semuanya yang terjadi, mengepalkan tangannya, dan menangis lagi.... Hari terus berganti hari. Kali ini si Penasihat Kerajaan, yang ternyata bermata biru senada dengan pakaiannya, lebih pusing dari hari-hari biasanya. la kini ditunjuk oleh dewan yang beranggotakan ketiga pangeran, 14 permaisuri, dan banyak tetua untuk menjadi penanggung jawab surat wasiat Sang Baginda Raja. Kini, setiap hari ia mengurung diri di dalam kamarnya, sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan. Janggutnya semakin tipis. Dikarenakan stres berat, ia terus menarik-narik janggutnya.
"Apa yang harus kulakukan?" Ia bergumam sendiri. "Kalau aku memanggil Divka, mungkin segalanya akan menjadi tenang. Tapi, mungkin juga malah memperburuk keadaan. Kalau aku mencoba menyelesaikannya sendiri... bagaimana caranya?"
Sementara itu, nun jauh di suatu tempat, ada sebuah rumah tua yang bentuknya seperti sebuah jamur raksasa. Dari luar terlihat jelas kalau itu adalah rumah yang sudah tidak terurus. Sebelum dapat masuk ke dalam, Anda harus lebih dulu melewati ilalang yang tingginya hampir selutut. Ada sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu kali yang dipasang secara serampangan. Jalan kecil itu langsung mengarah ke pintu depan rumah. Di pinggiran jalan tampak berbagai macam tumbuhan yang tidak jelas rupanya, dan tidak jelas pula namanya Daun pintu rumah itu mungkin terbuat dari kayu jati yang sudah berusia ratusan tahun, miring, dan tidak pernah terkunci. Lagi pula siapa yang berani masuk ke dalam rumah Divka?
"Tolong... jangan... ampun!" teriak seorang pria yang kedua tangannya terikat di bagian belakang kepalanya, sementara kakinya terikat ke sebuah kursi. Pria itu duduk tanpa daya.
"Bagaimana bisa jangan? Kan itu termasuk dalam perjanjian kita!" Sambut seorang gadis muda yang amat cantik. Wajahnya putih halus, hidungnya bangir bagaikan lereng gunung dengan lekukan tajam, dan dagunya yang panjang menunjukkan keteguhan yang sempurna. Anak matanya berwarna cokelat, lancip wajahnya diselimuti oleh rambut hitam panjangnya.
"Tapi, aku pikir kau bercanda," ujar pria itu lagi sembari menutup mata. Rupanya ia sudah tak berdaya. Badannya yang kekar dengan rambut cepak tidak menambah kegagahannya dalam posisinya yang memelas saat ini.
"Heh! Memangnya aku pernah bercanda? Memangnya aku terkenal karena aku suka bercanda?" Sergah wanita muda itu. Tubuhnya yang tinggi langsing dengan lekukan indah dan terbungkus pakaian ketat serba hitam itu berjalan memutari pria tersebut, perlahan-lahan. Ia seolah menikmati apa yang sedang dilihatnya. Sesekali sayap hitamnya dikibaskibaskan untuk menggoda pria tersebut. "Tapi... aku tidak mau...."
 "Lalu, bagaimana dengan perjanjian kita?"
"Batalkan saja!"
"Enak saja! Kau pikir bisa begitu saja berjanji pada wanita, lalu menariknya kembali? Dasar pria!" Divka berjalan menghampirinya. Pria itu menutup matanya kembali dan mengulum bibirnya masuk ke dalam. Tubuh besarnya ditarik sedemikian rupa, memepetkan dirinya yang sudah terikat lebih masuk lagi ke dalam sandaran kursi.
"Jangan... jangan cium aku...," pintanya memelas. Divka menghampirinya, menutup matanya, memegang kedua sisi sisi sandaran kursi tersebut, dan sedikit membungkukkan tubuh eloknya. Sayap hitamnya sebagian menyentuh tanah dan menutupi kedua kakinya yang tertekuk, kemudian maju mendekat. Ia menempelkan bibirnya pada mulut pria yang sedang berusaha menyembunyikan bibirnya itu. Mengecupnya. Mendadak terdengar bunyi,
"ZZZZZ.. . Kabuum...!"
"Krookk... Krooook!"
 Divka kembali berdiri dan tersenyum simpul. la melihat ke bawah. Tangan kanannya terjulur ke atas bantalan kursi dan mengambil kodok hijau yang lumayan besar itu seraya berkata,
"Lain kali kalau berjanji pada wanita harus tepat waktu, ya, sayang. Masa aku harus menunggumu lebih dari 15 menit? Kamu kan harusnya tahu aku tidak suka pria yang tidak tepat waktu."
"Kroook!" Kodok hijau itu menjawab.
Dengan enteng Divka membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Bagian dalamnya tampak lebih kotor dari ruang sebelumnya. Di sana terdapat sebuah meja yang amat besar, dihiasi tumpukan buku yang berserakan memenuhi bagian atasnya. Sebagian terbuka dan sebagian tertutup. Buku-buku kuno nan tebal itu berisi ribuan mantra yang Divka pelajari selama 400 tahun terakhir ini. la lalu berjalan menuju sebuah sudut. Di sana terdapat sebuah kolam yang lumayan besar, dihiasi bebatuan dan beberapa jenis rerumputan. Dengan gerakan cepat, dilemparkannya kodok tersebut ke dalam kolam.
"Byur!"
Seketika itu juga kodok-kodok lain keluar. Ada sekitar 40 kodok di dalam sana, seakan serempak keluar untuk memberikan sambutan,
"Krook...krok! Krook!" Mereka seolah sedang mengobrol.
"Sudah! Tinggal saja di sana bersama teman-temanmu. Heran, mengapa semua pria sama saja!" ujar Divka sembari keluar dan membanting pintu, membiarkannya gelap tanpa secercah cahaya pun.
*********************************************************************************
"Ada yang tahu Ayahanda di mana?" Tanya Pangeran Ketiga yang sedari tadi berputar-putar di koridor kerajaan. Kali ini ia menanyai seorang prajurit yang kebetulan sedang berjaga di sana dengan tongkat panjangnya.
"Kamu tahu Ayahanda di mana?" Ulangnya lagi. Prajurit itu melihatnya dengan tatapan sedikit bingung. Tubuhnya yang kecil ditegak-tegakkan, tampak jelas bingung hendak menjawab apa.
"Tidak, Pangeran. Hamba tidak tahu." Akhirnya ia berhasil menjawab.
"Eh, kamu sedang repot tidak?"
"Ya, Pangeran. Hamba sedang repot, Pangeran," jawabnya tergesa-gesa.
"Mau menemaniku?" Tanya Pangeran Ketiga.
 "Kee... ke mana?"
"Mencari Ayahanda!"
"Di mana Pangeran?"
"Kalau aku tahu, aku bisa cari sendiri!" Kata Pangeran Ketiga ketus. Penjaga itu diam dan berpikir. Ada yang salah di sini dan yang pasti itu bukan dirinya. Berdiri tegak menjaga koridor memang bukan pekerjaan yang mengasyikkan. Namun, menemani Pangeran Ketiga berjalan mencari Sang Baginda Raja adalah pekerjaan yang akan menghabiskan waktunya hingga esok pagi.
 "Tidak bisa, Pangeran, nanti Penasihat Kerajaan bisa marah!" Si Penggawa pun memutuskan untuk menolak.
"Bilang saja aku yang menyuruh kamu. Ayo, ikut!" Tangan Pangeran Ketiga langsung menyambar pergelangan tangan kiri si Penggawa. Mereka berjalan beriringan hingga matahari terbenam ....
"Dong... dong... dong...," jam kukuk berdentangsebanyak 11 kali, menunjukkan hari sudah larut, pukul 11 malam. Dan, ruang rapat kini kembali dipenuhi para tetua, Pangeran Pertama, Pangeran Kedua, dan Penasihat Kerajaan beserta 14 permaisuri raja.
"Ugh, jadi bagaimana neh?" Tetua Keempat membuka percakapan. Semua terdiam melihat Penasihat Kerajaan yang sedang berdiri tepat di depan sudut meja. Penasihat raja yang masih berpenampilan serbabiru itu tampak berdiri sedikit menunduk. Kedua tangannya terkepal menempel di sisi atas meja, kepalanya tertunduk diam, mungkin sedang berpikir. Pangeran Pertama tiba-tiba berdiri dari kursinya, berdiri tegak mendongak sembari membetulkan mahkotanya yang hampir jatuh ke belakang la menatap si Penasihat Kerajaan dan berkata,
"Sampai saat ini kita tidak bisa menemukan Pangeran Ketiga. Menurutku akanlah sangat adil kalau bagian berlian dia diambil untuk menyelesaikan masalah ini!"
"Aku sudah bilang tidak bisa begitu caranya! Lagi pula aku sudah mengambil sebuah keputusan...." Penasihat Kerajaan menjawab. Tangannya terangkat dari meja. la pun mendongak seperti Pangeran Pertama dan berjalan mengitari meja besar yang berbentuk persegi panjang itu. Suasana menjadi hening, semua orang menanti.... Setelah berputar dan kembali ke tempamya semula, si Penasihat Kerajaan lalu berdiri membelakangi meja dan semua yang hadir di sana. Tangannya terlipat. Dengan suara pelan ia berkata,
"Kita akan memanggil Divka...."
"Arrrrrgggggghhhhh!"
Serentak semua orang yang hadir di ruang rapat berteriak. Pangeran Kedua jatuh dari kursinya dan terjerembap ke belakang. Para tetua berbicara sendiri-sendiri sembati menunjuk-nunjuk si Penasihat Kerajaan dan para permaisuri menangis meraung-raung. Tapi ada satu orang yang tampak senang, ia adalah Permaisuri Kesebelas. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Itu adalah keputusan akhirku sebagai Penasihat Raja, jadi tidak boleh diganggu gugat!" ujarnya tanpa membalikkan tubuh, tetap membelakangi semua orang. Matanya sesekali berusaha melirik ke kanan dan ke kiri untuk mengamati reaksi mereka, namun ia mencoba untuk terlihat berwibawa, walaupun ia sendiri bingung. Suasana semakin tegang. Semua orang saling menyalahkan dan Penasihat Kerajaan bersikukuh dengan keputusannya.
"Brakkk!"
Mendadak pintu ruang rapat terpentang lebar. Tampaklah Pangeran Ketiga yang berjalan sedikit sempoyongan seperti orang yang baru menyelesaikan lari maraton. Keringat mengucur deras dari kepalanya dan air matanya mengalir deras membasahi kerah jubahnya yang berwarna merah muda. Di belakangnya terlihat penggawa penjaga koridor tadi tengah menumpukan bobot tubuhnya pada tongkat panjang yang dipegangnya. Ia pun tampak jelas keletihan dan napasnya terputus-putus.
"Aa... aaku punya kabar buruk untuk kalian ssee... seemuaa...." Ujar Pangeran Ketiga sembari menahan air matanya. Pembicaraan terhenti dan semua menunggu. 

bersambung.........
Sumber: Mantra (Deddy Corbuzier)

Leave a Reply

Labels