Divka Part II

0 komentar


"Kk... kkalian haa... haarus tahu ini...." Pangeran Ketiga berusaha berbicara kendati airmatanya seolah tak terbendung lagi. "Sse... seetelah aku selidiki... aa... aaku pikir, aa... aaku pii... ppiikir, Ayahanda mungkin sudah meninggal!"
Beberapa hari setelah rapat akbar itu digelar, perintah untuk menjemput Divka pun dikeluarkan oleh Penasihat Kerajaan. Lebih kurang 120 prajurit terbaik ia perintahkan untuk segera menyambangi tempat tinggal Divka. Mereka ditugasi untuk memboyong gadis muda itu ke istana guna membantu menyelesaikan masalah pembagian bongkahan berlian warisan Sang Baginda Raja.
"Oke, sekarang siapa yang akan pertama-tama masuk ke dalam rumahnya?" Tanya Kepala Prajurit yang berjongkok di antara ilalang, masih jauh dari kediaman Divka yang tak terawat. Tidak terdengar suara sedikit pun. Para prajurit hanya berdiam diri dan tetap berjongkok seperti yang dilakukan komandannya. Mereka semua tampak pucat lesi, menahan sakit perut masing-masing. Tak seorang pun berani berhadapan dengan wanita penyihir tersebut. Walaupun jarak mereka dengan rumahnya masih sekitar satu kilometer, rasa jeri sudah menghantui mereka semua.
"Kalau tidak ada yang maju, saya akan menunjuk salah satu dari kalian!" Putus si Kepala Prajurit. Para prajurit semakin terdiam. Kali ini mereka semua menundukkan kepala, bahkan ada yang berusaha berjalan jongkok, mundur perlahan-lahan. Ada yang merebahkan dirinya agar luput dari pengamatan sang komandan. Ada pula yang komat-kamit mengucapkan doa.
"Dasar! Kalian pengecut semuanya! Kalau saja aku bukan kepala prajurit dan tidak bertanggung jawab untuk membawa berita acara nanti malam bagi Penasihat Kerajaan, aku pasti sudah menjadi orang pertama yang berjalan masuk ke dalam rumah itu!" Bentak si Kepala Prajurit yang mendadak berdiri dan menatap tajam para prajuritnya yang kini lebih menundukkan kepala lagi.
Tiba-tiba saja ada sekelebat bayangan kecil yang meloncat di belakang si Kepala Prajurit, menabrak sebuah pohon dan menimbulkan bunyi keras.
"Argghh, ampun! Tolong, jangan...." Seru si Kepala Prajurit seraya menekukkan tubuhnya dalam posisi jongkok dengan kedua tangan menudungi kepala.
"Eh, komandan, itu tadi tupai ...." Ucap Prajurit Keenam Belas yang kebetulan berada di posisi paling depan.
"Saya tahu!" Balas si Kepala Prajurit ketus, sembari berdiri kembali.
"Itu tadi hanya ejekan untuk kalian saja, huh!" Lanjutnya, berusaha membetulkan reaksinya. Namun, wajah pucatnya masih terlihat jelas dan sukar disembunyikan begitu saja. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, ingin memastikan bahwa itu tadi memang hanya seekor tupai.
"Kamu!" Katanya mengejutkan dengan telunjuk teracung ke arah Prajurit Keenam Belas.
"Masuk ke dalam rumah Divka sekarang juga!" Perintahnya. Prajurit Keenam Belas mendongak, matanya melotot bagai baru melihat hantu. Mulumya ternganga tidak percaya.
"Kok saya? Kenapa saya ...." Tanyanya.
 "Diam! Jalankan perintah! Apa susahnya, sih? Kamu tinggal masuk dan mengatakan bahwa Divka diminta untuk bertamu ke kerajaan. Itu saja!" Potong si Kepala Prajurit dan bertolak pinggang. "Kalau begitu, kenapa bukan komandan saja?" Omel si prajurit.
Sementara itu, Divka tengah sibuk menghafalkan mantra-mantra barunya. la duduk di sebuah kursi kayu berwarna cokelat tua yang terletak di depan sebuah perapian. Kedua kakinya dinaikkan ke atas meja yang penuh sesak dengan buku-buku. Mulutnya komat-kamit, sementara tangan kanannya bergerak-gerak di udara bak mernimpin sebuah orkestra.
 "Koleadiosipriska!" Teriaknya serentak mengacungkan tangannya ke arah sebuah lukisan di dinding batu yang berada di sisi kanannya.
"Kabuum!"
Lukisan kucing hitam itu tiba-tiba bergerak sendiri. Kucing itu kemudian meloncat keluar dari lukisan dan mengeong di atas lantai. la menjadi kucing hidup.
"Tok, tok, tok...." Terdengar oleh Divka suara pintu diketuk dari luar. la tetap diam membaca bukunya. Dengan acuh tak acuh ia bergumam,
"Masuk!"
Pintu terbuka. Prajurit Keenam Belas melongok ke dalam, sementara para prajurit lain dan komandan mereka tetap menunggu di kejauhan. Sambil berharap-harap cemas mereka melihat apa yang akan terjadi sambil bersembunyi.
"Eh, selamat siang...," kata Prajurit Keenam Belas seraya beringsut masuk ke dalam ruang tersebut. Kepalanya menunduk, tangannya gemetaran sedangkan kedua lututnya saling beradu. "Malioscipkas!" Divka kembali mengayunkan tangannya, namun kali ini ditujukan pada prajurit malang itu. Seketika kepulan asap keluar dari sekeliling Prajurit Keenam Belas. Wajahnya yang ketakutan menengok ke kanan dan ke kiri, tetap menggenggam erat tongkatnya yang terus goyah. Asap putih itu tiba-tiba masuk seolah tersedot ke dalam tubuhnya dan ....
"Klontang!" Suara tongkat terjatuh pun terdengar keras. Sekejap mata, pintu rumah terbuka kembali dan seekor babi mungil berwarna merah muda menggunakan topi prajurit keluar dari rumah itu. Si babi berjalan cepat dengan mengegal-egolkan ekor kecilnya menuju tempat persembunyian para prajurit lain.
Begitu lah... hari terus bergulir. Tibalah sore hari. Rombongan prajurit tersebut akhirnya berhasil membawa Divka dengan menandunya ke kerajaan. Turut meramaikan rombongan itu, seekor babi kecil nan montok, empat ekor monyet, dua ekor ayam, dan 13 kodok. Semuanya masih mengenakan topi prajurit.
Singkat cerita, pintu ruang rapat dibuka kembali. Banyak orang ada di dalam, termasuk si Penasihat Kerajaan, para permaisuri, para tetua, dan ketiga pangeran. Tapi, ada yang sedikit berbeda di sana. Divka juga di sana!
"Kami membutuhkan bantuanmu...," ujar Penasihat Kerajaan, memulai percakapan.
Semua orang yang hadir saat itu tidak dapat melepaskan pandangan mereka dari Divka. Wanita cantik penyihir itu duduk di salah satu kursi rapat, seperti biasa ia duduk sambil mengangkat kaki. Karena tidak ada yang mau duduk dekatdekat dia, Divka mendapat ruang yang membuatnya leluasa. Di hadapannya ditempatkan berpuluh-puluh kursi yang didempetkan menjadi satu,
memain-mainkan tongkat kayunya yang berukuran sekitar setengah meter. Setiap kali ia mengangkat tongkat itu, semua kepala yang ada di depannya menunduk ketakutan karena mereka percaya tongkat itu adalah tongkat sihir. Tentu mereka enggan mengalami nasib yang sama dengan prajurit-prajurit yang datang menjemputnya.
"Ehm... kami memerlukan bantuanmu...," ulang si Penasihat Kerajaan, memberanikan diri menghampiri Divka dan menarik kursi untuk duduk di sampingnya.
"Ya, aku mendengar." Balas Divka. Ia terus memutarmutar tongkataya. Alhasil, semua orang di depannya serentak menundukkan kepala, menghindari arah putaran tongkamya. Keributan kecil pun terjadi. Kepala Pangeran Ketiga terbentur meja pada saat ikut-ikutan menunduk. Dan, seperti biasa ia mengerang-erang kesakitan.
"Heh! Lucu juga, ya, si Bego itu...," bisik Divka kepada si Penasihat Kerajaan seraya menunjuk kearah Pangeran Ketiga.
"Ya, saya tahu. Itu juga permasalahan lain. Namun, kami punya sebuah masalah yang sangat mendesak dan kami ingin meminta Anda membantu kami untuk menyele saikannya...," jelas Penasihat. Kali ini matanya melotot pada Pangeran Ketiga, mengisyaratkan dia agar diam.
"Apa? Dan, kalau saya bisa membantu kamu, apa yang saya dapatkan?" Divka pun menolehkan wajah tirusnya ke arah Penasihat Kerajaan. Tongkat kayunya diangkat dan ditempelkan pada dagu si Penasihat Kerajaan. Mendorong dagu itu ke atas.
"Eh, sebuah penghargaan dari kerajaan... dan kami berjanji tidak akan menjelek-jelekkan nama Anda di belakang Anda lagi." Penasihat menjawabnya dengan mata melirik ke bawah karena kini wajahnya terangkat tinggi oleh tongkat Divka.
"Oh, berarti kalian sering menjelek-jelekkan aku selama ini, toh?" Tongkatnya dilepaskan dari dagu si Penasihat Kerajaan dan diacungkannya dari kiri ke kanan, menunjuk semua yang hadir di sana. Lagi-lagi kepala Pangeran Ketiga terbentur meja di depannya.
"Terima kasih, aku suka pujian semacam itu. Semakin banyak kalian menghina aku, semakin aku senang! Nah, anggaplah kalau memang aku ingin membantu kalian, apa yang harus kulakukan?" Divka kembali bertanya kepada si Penasihat Kerajaan. la memperbaiki posisi duduknya. Wajahnya kini dibuat menjadi lebih serius dengan rambut hitam panjangnya tergerai menutupi setengah wajah. Tongkat sihirnya ia letakkan di atas meja. Akhirnya, semua orang bisa menarik napas lega.
Si Penasihat Kerajaan pun berdiri dari kursinya dan berjalan gagah di hadapan semua orang, lalu menerangkan segala permasalahan kepada Divka,
"Kami mempunyai warisan yang diterima dari Sang Baginda Raja yang baru saja wafat. Masalahnya adalah soal membagi bongkahan berlian. Di antara harta bendanya, Sang Baginda Raja mempunyai 36 bongkah berkan yang sangat besar, dan ia ingin membaginya menjadi empat. Saya sendiri mendapatkan satu sebagai tanda terima kasih Baginda atas pengabdian saya. Sisanya yang 35 bongkah dibagi sebagai berikut: 1.1/2 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Pertama. 2. 1/3 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Kedua. 3. 1/9 dari 35 diberikan kepada Pangeran Ketiga."
"Lalu?" Divka yang kini sedang memerhatikan wajah Pangeran Ketiga mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyeringai kepada Pangeran Ketiga yang mengintip dari balik jubahnya. Seolah jubah itu ia gunakan sebagai perisai.
"Lalu, ketiga pangeran ini tidak mau membaginya dengan adil. Hm... karena memang susah untuk dibagi secara adil. Pangeran Pertama meminta 18 bongkah, padahal seharusnya hanya 17,5. Pangeran Kedua meminta 12 di mana seharusnya hanya 11,6. Dan, hal itu jelas akan merugikan Pangeran Ketiga, yang saya yakin, seandainya ia tidak tolol seperti ini juga akan meminta lebih!"
"Aku juga ingin lebih!" Teriak Pangeran Ketiga sambil mengintip dari balik jubahnya. Semua orang yang hadir di sana menatapnya dan untuk sekali lagi mereka dengan kompak berteriak kepada Pangeran Ketiga,
"DIAAAAAAAAMMM!"
Divka tertawa geli melihat hal ini. la pun berdiri dari kursinya dan berjalan berkeliling ruangan. Semua orang kembali tak bersuara. Kibasan jubah, sayap, dan pakaian hitam Divka mengeluarkan aroma harum yang sangat nikmat seperti mawar di pagi hari. Sesekali Pangeran Pertama mencuri pandang, berharap seandainya saja wanita langsing berpakaian serbahitam ini bukan seorang penyihir.  "Mungkin ia sudah kujadikan permaisuri." Pikir Pangeran Pertama.
"Tok!"
Demikian bunyi tongkat kayu yang mendarat di atas kepala Pangeran Pertama, menyebabkan mahkotanya jatuh miring menutupi mata kanannya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, monyet! Kamu pikir aku mau kamu sentuh? Sekali lagi pikiranmu kotor begitu, kamu akan aku ubah menjadi bekicot! Mengerti?" Bentak Divka. Kebetulan ia berdiri tepat di belakang Pangeran Pertama ketika ia melancarkan pukulan dengan telak. Pangeran Pertama hanya tertunduk, bahkan tidak mau repotrepot membetulkan letak mahkotanya. Ia tidak berani berkomentar apa pun juga, apalagi berpikir untuk membalas. Ia mencoba mengosongkan pikiran.
Divka kembali berjalan dan akhirnya kini berhadapan langsung dengan si Penasihat Kerajaan. Mereka berdua saling pandang beberapa detik.
"Lalu?" Tanya Penasihat Kerajaan yang mulai merasa risi dengan pandangan tajam Divka.
"Aku bisa membantu kalian...," jawab Divka.
"Tapi ada syaratnya...," Penasihat Kerajaan menyambut berita itu sebelum Divka sempat menuntaskan kalimatnya.
"Apa?" tanya Divka cepat sembari menyipitkan matanya dan melemparkan pandangan tajam ke arah Si Penasihat Kerajaan.
"Tanpa ilmu sihir!" Tegas Penasihat Kerajaan. Divka kembali diam, berpikir keras. la berdiri lama sambil menopangkan dagunya di atas jemari tangannya yang lentik. Jemari yang dihias oleh berbagai cincin perak yang terukir indah, salah satunya berbentuk kepala tengkorak berlilit ular. Para hadirin menanti dengan penuk penasaran.
"Baik, tanpa ilmu sihir!" Katanya menyetujui.
"Dan satu lagi...," sergah Penasihat Kerajaan.
"Apa lagi?" Potong Divka.
"Tanpa ada yang dirugikan!"
"Oke... tanpa ilmu sihir dan tanpa ada yang dirugikan!" Divka kembali mengangguk.
"Sekarang begini, saya ingin segera menuntaskannya. Ikuti semua perintah saya. Saya ingin semua bongkahan berlian itu dalam waktu lima menit ada di atas meja ini!" Sentak Divka.
Lima menit kemudian 36 bongkah berlian, dengan kilauan jernih bagaikan cermin terkena sinar matahari, sudah terkumpul di atas meja. Para prajurit yang mengangkuti berlian-berlian itu terkapar di atas tanah, kehabisan napas karena harus menguras semua sisa tenaga untuk membawa 36 berlian kurang dari lima menit. Para permaisuri tampak tidak berkedip menikmati indahnya cahaya yang terpantul oleh lapisan-lapisan bongkahan berlian. Beberapa di antaranya berbisik-bisik membicarakan keindahan berlian-berlian itu, beberapa saling sirik dan mengiri atas pembagian yang dianggap tidak adil itu. Ketiga pangeran berdiam diri dan berpikir, mengira-ngira apa yang akan dilakukan Divka. Si Penasihat Kerajaan mengawasi Divka agar ia tidak berbuat curang. Dan, para tetua kebanyakan sudah tertidur pulas di kursinya masingmasing.
"Aku akan membantu kalian dengan syarat yang kalian minta, tidak menggunakan ilmu sihir dan tidak ada yang dirugikan." Ucap Divka sembari meraba salah satu bongkah berlian di atas meja tersebut.
"Namun untuk melaksanakannya, aku membutuhkan kerendahan hati dari kamu!" Tangannya menunjuk pada Penasihat Kerajaan.
"Maksudmu?" Tanya si Penasihat Kerajaan seraya mengernyitkan dahi. Tangannya kembali sibuk memuntirmuntir janggut putihnya.
"Aku harus meminjam bongkah berlianmu, dengan janji akan aku kembalikan seutuhnya, dan kamu tidak akan dirugikan sama sekali. Setuju?"
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?"
 "Kalau begitu aku pulang saja!" Sentak Divka tak sabar.
Serentak Pangeran Pertama dan Kedua berteriak,
"Hei, yang benar dong! Penasihat macam apa kamu? Tidak mau merelakan sebentar milikmu untuk menjaga keutuhan kerajaan?"
 Penasihat Kerajaan kembali diam, dan kemudian mengangguk kendati di dalam hati merasa sangat kesal. Bahkan terlintas di kepalanya bahwa membawa Divka ke kerajaan itu bukanlah hal yang baik sama sekali. Namun, semua sudah terjadi, kini mereka harus menunggu hasilnya dengan pasrah. "Baiklah! Lakukan yang menurutmu baik!"
"Nah, itu yang kutunggu dari tadi. Sekarang, semua dengarkan kata-kataku. Aku ingin semua orang menyimak. Pasang kuping kalian baik-baik, jangan ada sedikit pun dari perkataanku yang teriewat. Dan, ini berlaku untuk semua yang ada di ruangan ini!" Divka kemudian meloncat ke atas meja. Sayapnya terkembang indah bagai kilatan bayangan hitam, dan ia mendarat dengan begitu gemulai. Sulit dibedakan apakah ia sekadar meloncat atau terbang ke atas meja.
 "Hm, kini kita memiliki 36 bongkah berlian. Jadi, kita lupakan dulu kalau satu di antaranya adalah milik Penasihat Kerajaan." Ujar Divka dengan tegas. Semua yang hadir berdiam diri untuk mendengarkan dengan saksama. Bahkan, Pangeran Ketiga pun kali ini terdiam dan mengeluarkan kepalanya dari balik jubah yang biasa menutupi wajahnya. Ia mendengarkan, walau arah berdirinya  terbalik dan membelakangi orang-orang. Rupanya ia masih kebingungan, mencari-cari dari mana suara itu datang
"Oke, 36 bongkah. Dan, Anda, Pangeran Pertama, bagian sah Anda adalah setengah dari 35. Hasilnya menjadi 17,5 sedangkan Anda ingin mendapatkan 18 karena tidak mungkin berlian itu dipotong-potong. Oleh karena itu, kini, bila kita punya 36 maka bagianmu menjadi setengah dari 36. Kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau, yaitu 18 bongkah berlian!" Pangeran Pertama tertawa puas. Ia merasa mendapatkan apa yang diinginkannya, dan ia tak sabar ingin tahu siapa yang akan menjadi tumbal bagi kerugian di akhir pembagian itu.
Divka menengok ke arah Pangeran Kedua dan berkata, "Pangeran Kedua, kamu menuntut sepertiga dari 35, yaitu 11,6. Dan kamu menginginkan 12. Maka, dengan adanya 36 bongkah ini, sepertiganya adalah 12. Kamu boleh mendapatkan 12 bongkah berlian. Sejauh ini semua adil bukan?" Pangeran Kedua mengangguk seraya tersenyum gembira. Namun, wajah Penasihat Kerajaan terlihat ragu, sibuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. la melipat tangannya dan tidak melepaskan pandangannya dari Divka.
"Dan, kamu Pangeran Ketiga. Hoii! Pangeran Ketiga... hei! Lihat sini! Hoii!" Divka berteriak-teriak memanggil Pangeran Ketiga yang kini sudah berjalan menjauh dari meja, masih mencari-cari dari mana suara memanggil itu berasal.
"Eh, Penasihat Kerajaan, bisa tolong...." Divka melirik kepada Penasihat Kerajaan dan menunjuk ke arah Pangeran Ketiga yang kini sudah berada dekat pintu keluar. Diperlukan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk mengikat Pangeran Ketiga di kursinya. la tersenyum. Akhknya, ia menemukan sumber suara itu.
"Kamu, Pangeran Ketiga yang dungu! Sepersembilan dari 35 adalah 3,8 dan kamu akan saya beri 4, karena kita punya 36 bongkah sekarang. Sepersembilan dari 36 adalah 4, benar begitu? Tolong mengangguk kalau mengerti." Divka menatapnya tajam dan mengacungkan tongkat kayunya. Pangeran Ketiga mengangguk dan menjawab,
"Iya, aku mengerti. Sekarang aku tahu kalau sejak tadi itu yang berpidato adalah kamu. Kamu tahu tidak? Sedari tadi aku mencari-caa... hmmmp... hmp!"
Tongkat Divka kembali berayun dan mantra ia ucapkan,
"Slapstik!"
Dan, mulut Pangeran Ketiga seketika terkatup.
"Ya, sedari tadi, dong!" Pangeran Pertama berkomentar geli melihat Pangeran Ketiga yang bingung karena mulutnya tidak dapat dibuka. Kedua bibir menempel bagai diberi lem super.
"Tunggu! Lalu, bagaimana dengan bagian aku? Bukankah semua harus adil?" Buru-buru Penasihat Kerajaan berjalan mendekati Divka yang masih berdiri di atas meja kayu. Si Penasihat mengangkat kedua tangan untuk mengungkapkan kebingungannya.
"Sabar, bapak tua. Aku belum selesai. Eh, ngomongngomong, pernahkan ada yang berkomentar kalau kamu tidak pantas memakai jubah biru?" Divka menjawab dengan sinis.
"Kita akan menghitungnya kembali. Oke?" Lanjut Divka.
"Pangeran Pertama mendapatkan 18 bongkah, Pangeran Kedua mendapat 12 bongkah, dan Pangeran Ketiga mendapat 4 bongkah. Semuanya puas dan aku tidak melihat ada satu pun dari pangeran yang mengeluh. Nah, kini kita jumlahkan semua yang dimiliki oleh ketiga pangeran itu: 18 + 12 + 4 = 34. Padahal di sini kita punya 36 bongkah. Itu berarti 36 dikurangi 34 sama dengan 2. Yang satu jelas milikmu, Penasihat Kerajaan. Dan, yang satu lagi... menjadi milikku!" Ia melengkungkan tubuh indahnya ke depan, mengambil satu bongkah berlian yang paling besar lalu tertawa dan berkata,
 "Selesai sudah! Semua bahagia, tidak ada ilmu sihir, dan tidak ada yang dirugikan. Selamat malam para tamu kerajaan sekalian! Terima kasih atas undangan kalian hari ini. Senang berbisnis dengan orang-orang tolol macam kalian! Ha... ha... haaaaa!" la mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, dan mengangkat tangan kanannya yang sejak tadi menggenggam tongkat sihir. Tangan kirinya menggendong sebongkah berlian besar. Dan, sebelum orang-orang di sana sadar atas apa yang terjadi, Divka menyebutkan satu mantra lagi,
"Acrosdares... melienasitpos!"
 Kepulan asap ungu tiba-tiba keluar dari ujung tongkatnya, dan dengan seketika menyelimuti tubuh Divka. Seisi ruangan berkabut sehingga pandangan mata semua yang hadir terganggu, tidak dapat melihat jelas apa yang terjadi.
"Selamat tinggal!" Seru Divka untuk terakhir kalinya.
"KABUUM!"
 Ruangan pun kembali senyap. Asap ungu yang tadi mengepul di seantero ruangan raib entah ke mana. Yang tertinggal hanyalah 14 permaisuri, tiga pangeran, para tenia yang sebagian masih tertidur, Penasihat Kerajaan yang kebingungan dan sibuk menarik-narik janggut putihnya. Di meja kayu itu kini tersisa 35 bongkah berlian. Tidak ada yang dirugikan. 

Sumber: Mantra (Deddy Corbuzier)

Leave a Reply

Labels