(Sebuah Nasihat) Pemalsuan Jati Diri Islam



Dinda, hari yang kau tunggu-tunggu tiba, kau memintaku untuk mendampingi hari mu, kau memintaku untuk menjadi pemnyemangatmu dalam jalan yang mulia ini, jalan menemukan cintaNya dan kau saksikan sendiri hari itu sangat cerah sehingga mempermudah jalan kita. Engkau sangat senang ketika anak-anak yang kan kau didik berjumlah banyak melebihi apa yang telah diperhitungkan sebelumnya,

Engkau selalu bilang ingin memberikan pengetahuan kepada anak-anak jalanan yang hidupnya  kacau dan sangat jauh dari jalan agama, engkau sangat prihatin melihat anak-anak jalanan terbawa arus yang tidak baik bahkan kristenisasi gencar dilakukan oleh para misionaris

Dinda kau tampak anggun hari itu dengan jilbab biru membalut kepalamu dengan rapi, kau tampak bersemangat di depan kelas mengajarkan Syari'at Islam yang kau agungkan. Ditangan kirimu yang indah kau genggam sebuah buku, di tangan kananmu ada sebuah pensil. Kemudian dengan senyum yang menawan bibir mu bergerak,

"adik-adikku kak dinda punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri kak dinda ada sebuah buku, di tangan kanan kak dinda ada pensil. pabila kakak angkat buku ini, maka sebutlah "buku!", dan pabila kakak angkat pensil yang ini, maka sebutlah "Pensil!""  katamu sebagai pembuka pelajaran dihari itu

Murid muridmu pun mengerti dan mengikuti tanpa ada yang memprotes. Mereka sepeti tersihir akan keanggunanmu padahal anak-anak yang sedang kau ajari itu sebagian besar anak-anak nakal semua, kemudian Sambil tersenyum engkau mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirimu, kian lama kian cepat. Dan terdengar teriakan-teriakan mereka memekakan telinga kita, aku belum menangkap maksud dari permainanmu itu

"Baik sekarang perhatikan. pabila kakak angkat buku, sekarang sebutnya "Pensil!", dan pabila kakak angkat pensil, maka sebutnya "buku!".  Kata mu kemudian setelah kegaduhan berhenti

Dan permainan kau ulang kembali.  mulanya murid-muridmu keliru dan kikuk, tentu saja karena aku sendiri juga yang mengikuti seperti apa permainanmu terkadang lupa menyebutkan kebalikannya dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun,  perlahan tapi pasti mereka menjadi terbiasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. engkau tersenyum penuh arti kepada murid-muridmu. Dan tentu kepadaku juga

"Adik-adik yang sangat kakak sayangi, begitulah ummat Islam dan begitulah kita. Awalnya kita jelas dapat membedakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Namun kemudian, musuh - musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang benar itu menjadi salah, dan sebaliknya" katamu dengan penuh semangat, membuatku mengerti maksud dari permainanmu itu

"Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kita menerima hal itu, tetapi karena terus dibiasakan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kita terbiasa dengan hal itu. Dan kita mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kita tidak akan pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika."

"musuh kita itu siapa kak dinda?" tanya seorang muridmu sambil mengernyitkan dahinya
Dan teman-temannya yang lain mengiyakan tampak mereka belum megerti

"musuh-musuh kita adalah mereka selain islam terutama umat kristiani"

"kenapa mereka memusuhi kita kak, kenapa mereka jahat sama kita?" tanya seorang lagi

"mereka tidak jahat atau menyakiti kita seperti dulu, tapi yang mereka inginkan adalah supaya kita menjadi bagian dari mereka, karena mereka sangat membenci kita umat islam. Begitu adik-adikku" jawabmu dengan penuh kesabaran

Sebagian dari murid-muridmu menganggukan kepalanya dan sebagian lainnya masih mengernyitkan dahinya

"ok kakak lanjutkan lagi ya"

"adik-adikku sekarang Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik atau tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kita sedikit demi sedikit menerimanya".

"mengerti?" tanyamu kepada murid-murid

 "mengerti kak dinda" jawab mereka serempak

"Baik permainan kedua," lanjutmu. "kakak ada Qur'an, ka dinda akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu 'dijaga' sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang adik-adik berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa menginjak karpet?"

Murid-muridmu pun berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil meski Mereka mencoba dan terus mencoba
Akhirnya kau memberikan jalan keluar, kau gulung karpet, dan kau ambil Qur'an lalu kau tukar dengan buku filsafat materialisme. kau memenuhi syarat, tidak menginjak karpet. Aku jadi semakin kagum padamu dinda

"adik-adik, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-nginjak kita dengan terang-terangan. Karena tentu kita akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pondasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan..."

"Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kita.  Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kitan itu Muslim, tetapi kita telah meninggalkan Syari'at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan."

"Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak kita, kak dinda?" tanya mereka.

"Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak".  Jawab mu dengan penuh semangat,
Kemudian kau melirik jam tanganmu

"adik-adik hari ini kita cukupkan sampai disini dulu ya lain kali kakak lanjutkan kembali, dan mari kita berdo'a dahulu sebelum pulang..."

Matahari bersinar terik tatkala murid-muridmu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing.

Kau mengucapkan syukur setelah nya, dan aku tersenyum bahagia menyaksikanmu mengamalkan ilmu yang kau punya, rasa pedulimu terhadap islam sangat mengagumkan diriku juga membuatku sadar bahwa  kita harus bangkit dan mulai mengembalikan yang benar menjadi benar dan yang salah tetaplah salah tanpa kecuali.




Continue reading →

Maura





Maura, aku tidak tahu darimana dan kapan kau datang. Tahu-tahu kau sudah ada di depan pintuku. Kau sangat terkejut saat melihatku tengah telanjang bersama perempuan lain yang tidak kau kenal. Ah, jika pun aku bersama perempuan lain yang kau kenal, kau juga akan terkejut, bahkan lebih. mataku masih sadar untuk mengenali tetes air yang keluar dari matamu sebagai air mata. Kau pun beranjak pergi dengan segera. Aku merasakan penyesalan yang sangat. Ya. Aku sangat menyesal Maura.........

Maura, aku masih ingat saat pertama kali bertemu denganmu di sebuah kelab malam di bilangan ibukota. Baru pertama kali itu aku masuk ke kelab malam setelah beberapa tahun aku kerja di perusahaan dealer mobil merek terkenal. Maklumlah, aku datang dari kota dimana norma-norma agama, adab kesopanan dan kesusilaan sangat dijunjung Tinggi. Kelab malam sangat tabu bagiku. Tapi entah, malam itu ada sebuah kekuatan aneh yang menyuruh kakiku untuk memasuki tempat aku akan bertemu denganmu. Kekuatan setan kah?  Aku tidak mau ambil pusing dengan itu.  Yang jelas,  saat itu aku tengah dalam kondisi kalut. Perusahaanku melakukan perampingan-perampingan dan akulah salah satu korbannya. Kau datang mendekatiku menawarkan satu gelas minuman. Aku menerimanya kemudian Kau menyulutkan sebatang rokok di mulutku dengan apimu. Kau tanya kepadaku tentang diriku.

Mulailah aku bercerita tentang semua masalahku, termasuk siapa diriku dan masa laluku. Dalam keremangan aku masih bisa mengenali mimik wajahmu yang dengan serius dan penuh perhatian untuk mendengarkanku. Ah, kau memang pandai. Kau selalu tahu apa yang harus kau lakukan untuk tamu-tamumu, termasuk tamu pemula sepertiku. Aku yakin kau tahu saat itu kalau aku baru pertama kali datang ke kelab malam itu. Aku yakin kau tahu, saat itu aku sangat membutuhkan teman bicara. Pertemuan kita malam itu berakhir di sebuah kamar hotel yang kau sewa dengan kartu kreditku. Kau memapahku keluar dari kelab malam itu. Kau juga lah yang memanggilkan taksi dan mengantarku ke hotel. Kau memang profesional, Maura. Kau tinggalkan aku telentang sendirian di kamar itu, masih dalam pakaian lengkap yang sama yang aku kenakan sebelumnya. Kau tidak melucutinya sedikitpun, kecuali kau ambil dompetku yang paginya aku temukan tergeletak di atas meja kamar. Setelah aku periksa, tidak banyak uang yang telah kau ambil. Kau mengambil secukupnya saja sebesar hakmu yang telah melayaniku, ditambah dengan ongkos taksi tentunya. Aku kagum padamu, Maura. Aku selalu kagum kepada orang yang hanya mengambil tidak lebih dari apa yang menjadi haknya. Aku selalu kagum akan kejujuran.

Malam-malam selanjutnya, aku menjadi sering ke tempat kelab malam hanya untuk sekedar melihatmu sampai memberanikan diri untuk mengajakmu bicara meski sebentar. Apakah kau masih ingat aku waktu itu, Maura. Mungkin saja kau lupa, karena tentunya banyak sekali klien dan pelanggan yang keluar masuk ke kelab malam dan kau tidak bisa menghafalnya satu persatu. Tidak jarang aku melihatmu tengah melayani lelaki lain. Terpaksa aku harus menunggu sampai kau selesai dengannya. Itu membuatku tersiksa oleh cemburu, Maura. Kau tahu itu? Ah, siapalah aku siapalah kau. Kau hanyalah pelayan kelab malam yang memang dibayar untuk melayani siapapun.  Aku hanyalah seorang bekas pengunjung kelab Malam. Apalah hakku mencemburuimu. Apalah hakku untuk melarangmu dengan lelaki lain.

Pada suatu malam, kau langsung menghampiriku saat melihat kedatanganku. Kau tinggalkan seorang lelaki lain yang tengah berbicara denganmu di depan meja bartender. Kau membawa dua gelas minuman penuh. Satu gelas kau berikan padaku dengan senyum khasmu. Senyum yang selalu menggoda siapapun yang melihatnya.

”Ah, Maura ingat kanda,” katamu. ”Gimana kerjaannya? Jadi dipecat? Sudah dapat yang baru?” Kau menembakiku dengan pertanyaan.

Aku menjawabnya satu persatu dengan kesal. Kau mulai bertanya lagi pertanyaan lain untuk mencairkan kekesalanku. Aku tahu kau melihatnya di wajahku dan nada bicaraku. Kau terus menanyaiku dan mengajakku bicara. Sesekali kau tertawa dan aku pun ikut tertawa. Ah, Maura, semua terasa begitu indah saat aku melihatmu tertawa, seakan tidak ada di dunia ini yang tidak membuatmu tertawa. Hidup terasa begitu ringan.

"Dance yuk?” ajakmu. Aku enggan menuruti ajakanmu, namun kau menarikku dengan segera. Aku tak bisa menolak. Kau seketika melonjak mengikuti hentakan musik yang meraung memekakkan telinga. 

”Sudahlah, gak usah dipikirin. Tempat ini memang buat melupakan masalah-masalah,” teriakmu ingin mengalahkan kerasnya suara musik. Perlahan dan perlahan tubuhku bergetar sendiri, tersihir oleh kerlap-kerlip lampu dan hentakan-hentakan irama lagu. Benar katamu. Tempat ini memang untuk melupakan masalah.

Aku lupa siapa diriku. Aku lupa dari mana asalku. Aku lupa untuk apa keberadaanku dikota ini. Aku lupa, Maura, hanya wajahmu saja yang membuatku tertawa. Liak-liuk tubuhmu membangkitkan nafsu kelelakianku. Membuai kesadaranku. Setelah aku menahannya begitu lama, akhirnya terjadi juga. Aku mencumbuimu di kamar hotel itu. Aku ingin menyesal. Namun perkataanmu selanjutnya malah membuatku bangga.

”Ini pertama kalinya Maura melakukannya dengan seorang laki-laki,” bisikmu. Benarkah? Kalau begitu, aku menjadi orang yang terpilih. Kenapa? Kau tidak menjawab. Senyumanmu lah yang menjawabnya. Senyum yang bisa melupakan segala beban dan penat harianku. Kau menarik selimut dan menutupi tubuh telanjangmu di sampingku. Kau pun lalu terlelap Maura.

Maura. Aku mengagumimu. Setelah sekian lama kau bergelut dengan dunia itu, kau masih saja menjaga kesucianmu yang akhirnya kau berikan kepadaku. Kenapa? Mengapa aku menjadi yang terpilih? Apa yang kau lihat padaku? Aku hanyalah pengangguran. Aku bukan seorang yang gagah. Aku bukan seseorang yang berpenampilan menarik Kita pun belum saling mengenal lebih dekat. Apakah kau yakin begitu saja kepadaku? Aku tidak punya apa-apa yang bisa aku berikan kepadamu. Cinta? Aku sendiri ragu apakah aku bisa memberi dan menjaga cinta ini.

”Tapi kanda punya hati untuk belajar mencintai dan menerima apa yang telah nasib berikan kepada kanda, apapun itu. Kanda punya pikiran untuk berpikir dan merencanakan apa yang akan kanda lakukan untuk keluar dari masalah-masalah. Kanda punya mata yang tajam, yang bisa kanda gunakan untuk belajar dari hal-hal yang ada di sekeliling kanda dan belajar dari kesalahan kanda. Kanda punya semua itu. Itu yang tidak Maura lihat pada orang lain sebelum kanda. Mereka hanya mengeluh dan mengeluhkan masalah-masalah mereka di meja kelab malam itu, meski memang kanda pernah mengeluh di depan Maura, Maura tahu kanda hanya mencibir masalah saja, mengutuk masalah kanda, tetapi tidak benar-benar mengeluhkannya, karena kanda yakin akan dapat melaluinya dan melangkah sebagai seorang pemenang,” katamu suatu ketika.

”Hati yang seperti apa? Pikiran yang seperti apa? Mata yang seperti apa? Kau lihat sendiri kanda masih saja seperti ini, tanpa penghasilan yang pasti. Hati, pikiran dan mata kanda tidak dapat memberi maura materi apa-apa.”

”Maura tidak butuh semua itu. Jika itu yang Maura cari, Maura sudah bisa mendapatkannya dari dulu, sebelum bertemu dengan kanda. Maura ingin keluar dari dunia seperti ini. Maura sudah terlalu muak hidup dalam kubangan lumpur itu. Maura sudah terlalu muak melayani keluhan-keluhan laki-laki, mendengar mimpi-mimpi dan kegagalan-kegagalan mereka. Mereka pikir hanya mereka yang punya masalah? Mereka pikir hanya mereka yang bertangungjawab atas dunia? Mereka pikir, Maura dan perempuan-perempuan yang lain hanya menjadi tempat sampah, tempat pelepasan segala masalah yang dimiliki laki-laki? Mereka pikir, semuanya bisa dibeli dengan uang? Mereka pikir Maura tidak punya mimpi?” ungkapmu dengan berapi-api

”Maura..”

”Aku ingin kanda bersamaku. Maura ingin kanda membantuku keluar dari dunia itu. Ajak Maura kemana pun kanda mau. Kanda bisa ajak Maura ke desa tempat asal kanda, Maura ingin dekat dengan Tuhan. Maura ingin dekat dengan orang-orang biasa, bukan orang-orang yang berpikir bisa membeli segalanya dengan uang. Maura ingin kehangatan sebuah keluarga, orang tua, saudara. Kanda punya semua itu. Kanda punya keluarga yang setia menunggu kanda di desa, Kanda masih punya orang-orang yang baik di sekitar kanda. Kanda… kaulah orang itu. Orang yang Maura tunggu.”

”kanda? Maura…”

Maura Kau lekat di pelukanku. Menangis. Baru kali ini seorang perempuan menangis di pelukanku. Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Aku hanya diam, membelai dan mengusap rambutmu, menenangkanmu. Sementara kau masih tetap menangis. Kau ceritakan kisah hidupmu. Aku ingin tersenyum sebenarnya. Biasanya aku yang bercerita dan berkeluh kesah tentangku dan kau hanya mendengarkan, kali ini akulah yang harus mendengarkan.

Maura engkau seorang gadis kecil yang tumbuh di perempatan dan jalan-jalan kota. Menjual suaramu di pintu-pintu mobil dan angkutan. engkau sudah tidak punya siapa-siapa lagi. kau tidak ingat apakah kau pernah mempunyai orang tua atau saudara. Orang tuamu adalah jalanan yang memeliharamu. Saudara-saudaramu adalah anak jalanan yang lain yang selalu ada bersamamu. Hari ke hari, tahun ke tahun membuatmu tumbuh dan sadar, engkau harus mempercantik dirimu agar bisa mencari uang lebih banyak. Berbekal kemampuan bicara yang dipelajarimu dari sebuah sanggar anak jalanan yang pernah diikutimu, mulailah engkau mencari kerja. Mulanya kau hanya menjadi sales minuman berenergi, berkeliling dari satu pertokoan ke pertokoan yang lain. Dari sana kau mulai berkenalan dengan orang-orang cina pemilik toko. Dari orang-orang cina pemilik toko itulah engkau diperkenalkan dengan seorang pemilik kelab malam di pusat kota. Wajahmu yang cantik dan penampilanmu yang menarik membuat engkau ditawari untuk bekerja sebagai waitress di kelab malam itu.

Maura engkau sangat senang dan  bersyukur dengan pekerjaan barumu, kau bisa mengontrak sebuah rumah kecil yang kau gunakan sebagai tempat istirahat dan terkadang kau gunakan untuk menampung anak-anak jalanan yang lain yang engkau temui. Berbekal perjalanan hidupmu yang keras, engkau dapat dengan mudah menghadapi kemauan dan keisengan laki-laki, dari orang biasa hingga yang eksekutif muda sekalipun. Apa yang menjadi bekalmu hanyalah hati untuk berlapang dan bersabar, pikiran untuk mencerna persoalan dan permasalahan hidup, dan mata untuk melihat dan belajar dari apa yang ada di sekelilingmu yang ditemui sehari-hari.

Maura, jika kau lihat wajah polosmu sendiri saat kau tidur, kau tidak akan mengira bahwa perjalanan dan hidupmu sungguh berat. Wajahmu polos tak berdosa, tenang dalam buaian mimpi-mimpi. Apakah kau bermimpi, Maura? Apa yang kau impikan? Mungkinkah kau bermimpi bertemu dengan seorang pangeran yang menunggang kuda putih dan menyelamatkanmu dari puncak menara yang mengurungmu? Akukah yang kau pikir pangeranmu?

Malam itu kau tidak ada di tempatmu, Maura. Padahal aku membutuhkanmu. Aku ingin berkeluh kesah di depanmu tentang pekerjaan baruku, atasan baruku, dan orang-orang baru di sekelilingku. Betapa mereka membuatku asing dan terasing. Aku ingin berbagi tentang itu semua. Maura kau di mana? Mungkinkah kau tengah melayani seorang pelangganmu? Aku tergoda untuk berpikir bahwa kau tengah bermesraan dengan seorang pelanggan lain yang lebih segalanya dariku. Lebih tampan, lebih kaya, lebih menjanjikan masa depan dari pada aku. Aku kalut. Aku takut. Aku takut ditinggal sendirian tanpamu.

Maura. Lalu aku bertemu wanita itu. Ia wanita yang sama denganku. Ia dilanda masalah dalam pekerjaannya. Kami pun cepat akrab. Kami pun mabuk bersama. Kami saling cerita tentang diri kami dan pekerjaan-pekerjaan kami yang membuat kami serasa seperti robot yang telah diprogram untuk menaati aturan. Aku terlena, Maura. Aku lupa denganmu. Aku mengajaknya ke tempat tinggalku. Dan peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang telah kau lihat sendiri.

Maura, setelah pulih kesadaranku, aku segera mencarimu tengah malam itu. Aku mencarimu ke kelab malammu. Tapi kau tidak ada di sana. Aku bertanya kepada seorang temanmu. Ia bilang kau baru saja masuk dengan tergesa-gesa, duduk sebentar dan keluar entah kemana. Ia sempat melihat air matamu keluar. Darinya pula aku tahu, ternyata kau belum melayani seorang pun malam itu. Kau datang terlambat karena salah seorang anak jalanan di tempatmu mendadak sakit dan kau harus menungguinya. Kau belum datang saat aku datang dan bertemu wanita itu.

Aku segera berlari keluar mencarimu, Maura. Aku ke rumah kontrakanmu. Di sana hanya ada anak-anak yang tengah berkerumun. Satu orang anak terbaring sakit. Aku mencarimu di jalan-jalan kota. Lalu aku menemukanmu di sebuah perempatan jalan. Kau tengah berdiri mematung, bersandar pada tiang lampu. Kau tidak pedulikan siulan-siulan laki-laki dan tatapan-tatapan mereka yang melintas di depanmu. Pandanganmu kosong ke horison langit di depanmu.

”Maura, kanda sangat menyesal. kanda minta maaf.”

”Kanda puas? Kanda telah mengangkat maura lebih tinggi hanya untuk kanda jatuhkan lebih keras lagi? Kanda tega! Kau pengkhianat. Kau busuk!”

”Maura…”

”Cukup. Maura tidak mau mendengar lagi alasan kanda. tinggalkan aku. Biarkan aku sendiri di sini.”

”Apakah maura ingin kembali lagi ke masa lalu di sini? maura tidak merasa kasihan kepada anak-anak yang sekarang tengah menunggu maura di rumah? Muara ingin menambah lagi jumlah mereka? Maura, jika sesal dan maaf saja tidak cukup, sekarang juga kanda minta maura ikut dengan kanda"

Detik itu juga aku mengajakmu ke stasiun. Beruntung masih ada kereta malam yang belum berangkat. Kau terus bertanya kita mau kemana. Ke tempat impianmu, jawabku. Kereta melaju. Membawa kami ke arah timur, menjemput matahari terbit, ke tempat di mana hari berawal. Di timur sana kotaku, desa asalku berada, tempat di mana aku lahir dan dibesarkan dalam keramahan orang-orang. Orang-orang yang tidak selalu berpikir tentang uang untuk mencari keindahan dan kebahagiaan...


Sukabumi, 10 juni 2012 

Continue reading →

Tentang Wanita

0 komentar



1. Bila seorang wanita mengatakan dia sedang bersedih,tetapi dia tidak meneteskan airmata,itu berarti dia sedang menangis di dalam hatinya.

2. Bila dia tidak menghiraukan kamu setelah kamu menyakiti hatinya,lebih baik kamu beri dia waktu untuk menenangkan hatinya sebelum kamu menegur dengan ucapan maaf.

3. Wanita sulit untuk mencari sesuatu yang dia benci tentang orang yang paling dia sayang (karena itu banyak wanita yang patah hati bila hubungannya putus di tengah jalan).

4. Jika sorang wanita jatuh cinta dengan seorang lelaki,lelaki itu akan sentiasa ada di pikirannya walaupun ketika dia sedang dengan lelaki lain.

5. Bila lelaki yang dia cintai merenung tajam ke dalam matanya, dia akan cair seperti coklat!!

6. Wanita memang menyukai pujian tetapi selalu tidak tahu cara menerima pujian.

7. Jika kamu tidak suka dengan gadis yang menyukai kamu setengah mati, tolak cintanya dengan lembut,jangan kasar karena ada satu semangat dalam diri wanita yang kamu tak akan tahu bila dia telah membuat keputusan,dia akan melakukan apa saja.

8. Jika seorang gadis sedang menjauhkan diri darimu setelah kamu tolak cintanya, biarkan dia untuk seketika.Jika kamu masih ingin menganggap dia seorang kawan,cobalah tegur dia perlahan-lahan.

9. Wanita suka meluahkan apa yang mereka rasa. Musik, puisi, lukisan dan tulisan adalah cara termudah mereka meluahkan isi hati mereka.

10. Jangan sesekali beritahu kepada perempuan tentang apa yang membuat mereka langsung merasa tak berguna.

11. Bersikap terlalu serius bisa mematikan mood wanita.

12. Bila pertama kali lelaki yang dicintainya sedang diam memberikan respon positif,misalnya menghubunginya melalui telepon, si gadis akan bersikap acuh tak acuh seolah-olah tidak berminat,tetapi sebenarnya dia akan berteriak senang dan tak sampai sepuluh minit, semua teman-temannya akan tahu berita tersebut.

13. Sebuah senyuman memberi seribu arti bagi wanita.Jadi jangan senyum sembarangan kepada wanita.

14. Jika kamu menyukai sorang wanita, mulailah dengan persahabatan.Kemudian biarkan dia mengenalmu lebih dalam.

15. Jika sorang wanita memberi seribu satu alasan setiap kali kamu ajak keluar, tinggalkan dia karena dia memang tak berminat denganmu.

16. Tetapi jika dalam waktu yang sama dia menghubungimu atau menunggu panggilan darimu,teruskan usahamu untuk memikatnya.

17. Jangan sesekali menebak apa yang dirasakannya.Tanya dia sendiri!!

18. Setelah sorang gadis jatuh cinta,dia akan sering bertanya-tanya mengapa aku tak bertemu lelaki ini lebih awal.

19. Kalau kamu masih mencari-cari cara yang paling romantis untuk memikat hati sorang gadis,bacalah buku-buku cinta.

20. Bila setiap kali melihat foto bersama,yang pertama dicari oleh wanita ialah siapa yang berdiri di sebelah buah hatinya,kemudian barulah dirinya sendiri.

21. Mantan pacarnya akan selalu ada di pikirannya tetapi lelaki yang dicintainya sekarang akan berada di tempat teristimewa di hatinya!!

22. Satu ucapan 'Hi' saja sudah cukup menceriakan harinya.

23. Teman baiknya saja yang tahu apa yang sedang dia rasa dan lalui.

24. Wanita paling benci lelaki yang berbaik-baik dengan mereka semata mata untuk menggaet kawan mereka yang paling cantik.

25. Cinta berarti kesetiaan, jujur dan kebahagiaan tanpa syarat.

26. Semua wanita menginginkan seorang lelaki yang dicintainya dengan sepenuh hati..

27. Senjata wanita adalah airmata!!

28. Wanita suka jika sesekali orang yang disayanginya memberi surprise buatnya (hadiah,bunga atau sekadar kata-kata romantis). Mereka akan terharu dan merasakan bahwa dirinya dicintai setulus hati.Dengan ini dia tak akan ragu-ragu terhadapmu.

29. Wanita mudah jatuh hati pada lelaki yang perhatian padanya dan baik terhadapnya.So,kalau mau memikat wanita pandai-pandailah..

30. Sebenarnya mudah mengambil hati wanita kerena apa yang dia mau hanyalah perasaan dicintai dan disayangi sepenuh jiwa.

begitulah wanita..
Sumber: www.rajaebookgratis.com
Continue reading →

Divka Part II

0 komentar


"Kk... kkalian haa... haarus tahu ini...." Pangeran Ketiga berusaha berbicara kendati airmatanya seolah tak terbendung lagi. "Sse... seetelah aku selidiki... aa... aaku pikir, aa... aaku pii... ppiikir, Ayahanda mungkin sudah meninggal!"
Beberapa hari setelah rapat akbar itu digelar, perintah untuk menjemput Divka pun dikeluarkan oleh Penasihat Kerajaan. Lebih kurang 120 prajurit terbaik ia perintahkan untuk segera menyambangi tempat tinggal Divka. Mereka ditugasi untuk memboyong gadis muda itu ke istana guna membantu menyelesaikan masalah pembagian bongkahan berlian warisan Sang Baginda Raja.
"Oke, sekarang siapa yang akan pertama-tama masuk ke dalam rumahnya?" Tanya Kepala Prajurit yang berjongkok di antara ilalang, masih jauh dari kediaman Divka yang tak terawat. Tidak terdengar suara sedikit pun. Para prajurit hanya berdiam diri dan tetap berjongkok seperti yang dilakukan komandannya. Mereka semua tampak pucat lesi, menahan sakit perut masing-masing. Tak seorang pun berani berhadapan dengan wanita penyihir tersebut. Walaupun jarak mereka dengan rumahnya masih sekitar satu kilometer, rasa jeri sudah menghantui mereka semua.
"Kalau tidak ada yang maju, saya akan menunjuk salah satu dari kalian!" Putus si Kepala Prajurit. Para prajurit semakin terdiam. Kali ini mereka semua menundukkan kepala, bahkan ada yang berusaha berjalan jongkok, mundur perlahan-lahan. Ada yang merebahkan dirinya agar luput dari pengamatan sang komandan. Ada pula yang komat-kamit mengucapkan doa.
"Dasar! Kalian pengecut semuanya! Kalau saja aku bukan kepala prajurit dan tidak bertanggung jawab untuk membawa berita acara nanti malam bagi Penasihat Kerajaan, aku pasti sudah menjadi orang pertama yang berjalan masuk ke dalam rumah itu!" Bentak si Kepala Prajurit yang mendadak berdiri dan menatap tajam para prajuritnya yang kini lebih menundukkan kepala lagi.
Tiba-tiba saja ada sekelebat bayangan kecil yang meloncat di belakang si Kepala Prajurit, menabrak sebuah pohon dan menimbulkan bunyi keras.
"Argghh, ampun! Tolong, jangan...." Seru si Kepala Prajurit seraya menekukkan tubuhnya dalam posisi jongkok dengan kedua tangan menudungi kepala.
"Eh, komandan, itu tadi tupai ...." Ucap Prajurit Keenam Belas yang kebetulan berada di posisi paling depan.
"Saya tahu!" Balas si Kepala Prajurit ketus, sembari berdiri kembali.
"Itu tadi hanya ejekan untuk kalian saja, huh!" Lanjutnya, berusaha membetulkan reaksinya. Namun, wajah pucatnya masih terlihat jelas dan sukar disembunyikan begitu saja. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, ingin memastikan bahwa itu tadi memang hanya seekor tupai.
"Kamu!" Katanya mengejutkan dengan telunjuk teracung ke arah Prajurit Keenam Belas.
"Masuk ke dalam rumah Divka sekarang juga!" Perintahnya. Prajurit Keenam Belas mendongak, matanya melotot bagai baru melihat hantu. Mulumya ternganga tidak percaya.
"Kok saya? Kenapa saya ...." Tanyanya.
 "Diam! Jalankan perintah! Apa susahnya, sih? Kamu tinggal masuk dan mengatakan bahwa Divka diminta untuk bertamu ke kerajaan. Itu saja!" Potong si Kepala Prajurit dan bertolak pinggang. "Kalau begitu, kenapa bukan komandan saja?" Omel si prajurit.
Sementara itu, Divka tengah sibuk menghafalkan mantra-mantra barunya. la duduk di sebuah kursi kayu berwarna cokelat tua yang terletak di depan sebuah perapian. Kedua kakinya dinaikkan ke atas meja yang penuh sesak dengan buku-buku. Mulutnya komat-kamit, sementara tangan kanannya bergerak-gerak di udara bak mernimpin sebuah orkestra.
 "Koleadiosipriska!" Teriaknya serentak mengacungkan tangannya ke arah sebuah lukisan di dinding batu yang berada di sisi kanannya.
"Kabuum!"
Lukisan kucing hitam itu tiba-tiba bergerak sendiri. Kucing itu kemudian meloncat keluar dari lukisan dan mengeong di atas lantai. la menjadi kucing hidup.
"Tok, tok, tok...." Terdengar oleh Divka suara pintu diketuk dari luar. la tetap diam membaca bukunya. Dengan acuh tak acuh ia bergumam,
"Masuk!"
Pintu terbuka. Prajurit Keenam Belas melongok ke dalam, sementara para prajurit lain dan komandan mereka tetap menunggu di kejauhan. Sambil berharap-harap cemas mereka melihat apa yang akan terjadi sambil bersembunyi.
"Eh, selamat siang...," kata Prajurit Keenam Belas seraya beringsut masuk ke dalam ruang tersebut. Kepalanya menunduk, tangannya gemetaran sedangkan kedua lututnya saling beradu. "Malioscipkas!" Divka kembali mengayunkan tangannya, namun kali ini ditujukan pada prajurit malang itu. Seketika kepulan asap keluar dari sekeliling Prajurit Keenam Belas. Wajahnya yang ketakutan menengok ke kanan dan ke kiri, tetap menggenggam erat tongkatnya yang terus goyah. Asap putih itu tiba-tiba masuk seolah tersedot ke dalam tubuhnya dan ....
"Klontang!" Suara tongkat terjatuh pun terdengar keras. Sekejap mata, pintu rumah terbuka kembali dan seekor babi mungil berwarna merah muda menggunakan topi prajurit keluar dari rumah itu. Si babi berjalan cepat dengan mengegal-egolkan ekor kecilnya menuju tempat persembunyian para prajurit lain.
Begitu lah... hari terus bergulir. Tibalah sore hari. Rombongan prajurit tersebut akhirnya berhasil membawa Divka dengan menandunya ke kerajaan. Turut meramaikan rombongan itu, seekor babi kecil nan montok, empat ekor monyet, dua ekor ayam, dan 13 kodok. Semuanya masih mengenakan topi prajurit.
Singkat cerita, pintu ruang rapat dibuka kembali. Banyak orang ada di dalam, termasuk si Penasihat Kerajaan, para permaisuri, para tetua, dan ketiga pangeran. Tapi, ada yang sedikit berbeda di sana. Divka juga di sana!
"Kami membutuhkan bantuanmu...," ujar Penasihat Kerajaan, memulai percakapan.
Semua orang yang hadir saat itu tidak dapat melepaskan pandangan mereka dari Divka. Wanita cantik penyihir itu duduk di salah satu kursi rapat, seperti biasa ia duduk sambil mengangkat kaki. Karena tidak ada yang mau duduk dekatdekat dia, Divka mendapat ruang yang membuatnya leluasa. Di hadapannya ditempatkan berpuluh-puluh kursi yang didempetkan menjadi satu,
memain-mainkan tongkat kayunya yang berukuran sekitar setengah meter. Setiap kali ia mengangkat tongkat itu, semua kepala yang ada di depannya menunduk ketakutan karena mereka percaya tongkat itu adalah tongkat sihir. Tentu mereka enggan mengalami nasib yang sama dengan prajurit-prajurit yang datang menjemputnya.
"Ehm... kami memerlukan bantuanmu...," ulang si Penasihat Kerajaan, memberanikan diri menghampiri Divka dan menarik kursi untuk duduk di sampingnya.
"Ya, aku mendengar." Balas Divka. Ia terus memutarmutar tongkataya. Alhasil, semua orang di depannya serentak menundukkan kepala, menghindari arah putaran tongkamya. Keributan kecil pun terjadi. Kepala Pangeran Ketiga terbentur meja pada saat ikut-ikutan menunduk. Dan, seperti biasa ia mengerang-erang kesakitan.
"Heh! Lucu juga, ya, si Bego itu...," bisik Divka kepada si Penasihat Kerajaan seraya menunjuk kearah Pangeran Ketiga.
"Ya, saya tahu. Itu juga permasalahan lain. Namun, kami punya sebuah masalah yang sangat mendesak dan kami ingin meminta Anda membantu kami untuk menyele saikannya...," jelas Penasihat. Kali ini matanya melotot pada Pangeran Ketiga, mengisyaratkan dia agar diam.
"Apa? Dan, kalau saya bisa membantu kamu, apa yang saya dapatkan?" Divka pun menolehkan wajah tirusnya ke arah Penasihat Kerajaan. Tongkat kayunya diangkat dan ditempelkan pada dagu si Penasihat Kerajaan. Mendorong dagu itu ke atas.
"Eh, sebuah penghargaan dari kerajaan... dan kami berjanji tidak akan menjelek-jelekkan nama Anda di belakang Anda lagi." Penasihat menjawabnya dengan mata melirik ke bawah karena kini wajahnya terangkat tinggi oleh tongkat Divka.
"Oh, berarti kalian sering menjelek-jelekkan aku selama ini, toh?" Tongkatnya dilepaskan dari dagu si Penasihat Kerajaan dan diacungkannya dari kiri ke kanan, menunjuk semua yang hadir di sana. Lagi-lagi kepala Pangeran Ketiga terbentur meja di depannya.
"Terima kasih, aku suka pujian semacam itu. Semakin banyak kalian menghina aku, semakin aku senang! Nah, anggaplah kalau memang aku ingin membantu kalian, apa yang harus kulakukan?" Divka kembali bertanya kepada si Penasihat Kerajaan. la memperbaiki posisi duduknya. Wajahnya kini dibuat menjadi lebih serius dengan rambut hitam panjangnya tergerai menutupi setengah wajah. Tongkat sihirnya ia letakkan di atas meja. Akhirnya, semua orang bisa menarik napas lega.
Si Penasihat Kerajaan pun berdiri dari kursinya dan berjalan gagah di hadapan semua orang, lalu menerangkan segala permasalahan kepada Divka,
"Kami mempunyai warisan yang diterima dari Sang Baginda Raja yang baru saja wafat. Masalahnya adalah soal membagi bongkahan berlian. Di antara harta bendanya, Sang Baginda Raja mempunyai 36 bongkah berkan yang sangat besar, dan ia ingin membaginya menjadi empat. Saya sendiri mendapatkan satu sebagai tanda terima kasih Baginda atas pengabdian saya. Sisanya yang 35 bongkah dibagi sebagai berikut: 1.1/2 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Pertama. 2. 1/3 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Kedua. 3. 1/9 dari 35 diberikan kepada Pangeran Ketiga."
"Lalu?" Divka yang kini sedang memerhatikan wajah Pangeran Ketiga mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyeringai kepada Pangeran Ketiga yang mengintip dari balik jubahnya. Seolah jubah itu ia gunakan sebagai perisai.
"Lalu, ketiga pangeran ini tidak mau membaginya dengan adil. Hm... karena memang susah untuk dibagi secara adil. Pangeran Pertama meminta 18 bongkah, padahal seharusnya hanya 17,5. Pangeran Kedua meminta 12 di mana seharusnya hanya 11,6. Dan, hal itu jelas akan merugikan Pangeran Ketiga, yang saya yakin, seandainya ia tidak tolol seperti ini juga akan meminta lebih!"
"Aku juga ingin lebih!" Teriak Pangeran Ketiga sambil mengintip dari balik jubahnya. Semua orang yang hadir di sana menatapnya dan untuk sekali lagi mereka dengan kompak berteriak kepada Pangeran Ketiga,
"DIAAAAAAAAMMM!"
Divka tertawa geli melihat hal ini. la pun berdiri dari kursinya dan berjalan berkeliling ruangan. Semua orang kembali tak bersuara. Kibasan jubah, sayap, dan pakaian hitam Divka mengeluarkan aroma harum yang sangat nikmat seperti mawar di pagi hari. Sesekali Pangeran Pertama mencuri pandang, berharap seandainya saja wanita langsing berpakaian serbahitam ini bukan seorang penyihir.  "Mungkin ia sudah kujadikan permaisuri." Pikir Pangeran Pertama.
"Tok!"
Demikian bunyi tongkat kayu yang mendarat di atas kepala Pangeran Pertama, menyebabkan mahkotanya jatuh miring menutupi mata kanannya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, monyet! Kamu pikir aku mau kamu sentuh? Sekali lagi pikiranmu kotor begitu, kamu akan aku ubah menjadi bekicot! Mengerti?" Bentak Divka. Kebetulan ia berdiri tepat di belakang Pangeran Pertama ketika ia melancarkan pukulan dengan telak. Pangeran Pertama hanya tertunduk, bahkan tidak mau repotrepot membetulkan letak mahkotanya. Ia tidak berani berkomentar apa pun juga, apalagi berpikir untuk membalas. Ia mencoba mengosongkan pikiran.
Divka kembali berjalan dan akhirnya kini berhadapan langsung dengan si Penasihat Kerajaan. Mereka berdua saling pandang beberapa detik.
"Lalu?" Tanya Penasihat Kerajaan yang mulai merasa risi dengan pandangan tajam Divka.
"Aku bisa membantu kalian...," jawab Divka.
"Tapi ada syaratnya...," Penasihat Kerajaan menyambut berita itu sebelum Divka sempat menuntaskan kalimatnya.
"Apa?" tanya Divka cepat sembari menyipitkan matanya dan melemparkan pandangan tajam ke arah Si Penasihat Kerajaan.
"Tanpa ilmu sihir!" Tegas Penasihat Kerajaan. Divka kembali diam, berpikir keras. la berdiri lama sambil menopangkan dagunya di atas jemari tangannya yang lentik. Jemari yang dihias oleh berbagai cincin perak yang terukir indah, salah satunya berbentuk kepala tengkorak berlilit ular. Para hadirin menanti dengan penuk penasaran.
"Baik, tanpa ilmu sihir!" Katanya menyetujui.
"Dan satu lagi...," sergah Penasihat Kerajaan.
"Apa lagi?" Potong Divka.
"Tanpa ada yang dirugikan!"
"Oke... tanpa ilmu sihir dan tanpa ada yang dirugikan!" Divka kembali mengangguk.
"Sekarang begini, saya ingin segera menuntaskannya. Ikuti semua perintah saya. Saya ingin semua bongkahan berlian itu dalam waktu lima menit ada di atas meja ini!" Sentak Divka.
Lima menit kemudian 36 bongkah berlian, dengan kilauan jernih bagaikan cermin terkena sinar matahari, sudah terkumpul di atas meja. Para prajurit yang mengangkuti berlian-berlian itu terkapar di atas tanah, kehabisan napas karena harus menguras semua sisa tenaga untuk membawa 36 berlian kurang dari lima menit. Para permaisuri tampak tidak berkedip menikmati indahnya cahaya yang terpantul oleh lapisan-lapisan bongkahan berlian. Beberapa di antaranya berbisik-bisik membicarakan keindahan berlian-berlian itu, beberapa saling sirik dan mengiri atas pembagian yang dianggap tidak adil itu. Ketiga pangeran berdiam diri dan berpikir, mengira-ngira apa yang akan dilakukan Divka. Si Penasihat Kerajaan mengawasi Divka agar ia tidak berbuat curang. Dan, para tetua kebanyakan sudah tertidur pulas di kursinya masingmasing.
"Aku akan membantu kalian dengan syarat yang kalian minta, tidak menggunakan ilmu sihir dan tidak ada yang dirugikan." Ucap Divka sembari meraba salah satu bongkah berlian di atas meja tersebut.
"Namun untuk melaksanakannya, aku membutuhkan kerendahan hati dari kamu!" Tangannya menunjuk pada Penasihat Kerajaan.
"Maksudmu?" Tanya si Penasihat Kerajaan seraya mengernyitkan dahi. Tangannya kembali sibuk memuntirmuntir janggut putihnya.
"Aku harus meminjam bongkah berlianmu, dengan janji akan aku kembalikan seutuhnya, dan kamu tidak akan dirugikan sama sekali. Setuju?"
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?"
 "Kalau begitu aku pulang saja!" Sentak Divka tak sabar.
Serentak Pangeran Pertama dan Kedua berteriak,
"Hei, yang benar dong! Penasihat macam apa kamu? Tidak mau merelakan sebentar milikmu untuk menjaga keutuhan kerajaan?"
 Penasihat Kerajaan kembali diam, dan kemudian mengangguk kendati di dalam hati merasa sangat kesal. Bahkan terlintas di kepalanya bahwa membawa Divka ke kerajaan itu bukanlah hal yang baik sama sekali. Namun, semua sudah terjadi, kini mereka harus menunggu hasilnya dengan pasrah. "Baiklah! Lakukan yang menurutmu baik!"
"Nah, itu yang kutunggu dari tadi. Sekarang, semua dengarkan kata-kataku. Aku ingin semua orang menyimak. Pasang kuping kalian baik-baik, jangan ada sedikit pun dari perkataanku yang teriewat. Dan, ini berlaku untuk semua yang ada di ruangan ini!" Divka kemudian meloncat ke atas meja. Sayapnya terkembang indah bagai kilatan bayangan hitam, dan ia mendarat dengan begitu gemulai. Sulit dibedakan apakah ia sekadar meloncat atau terbang ke atas meja.
 "Hm, kini kita memiliki 36 bongkah berlian. Jadi, kita lupakan dulu kalau satu di antaranya adalah milik Penasihat Kerajaan." Ujar Divka dengan tegas. Semua yang hadir berdiam diri untuk mendengarkan dengan saksama. Bahkan, Pangeran Ketiga pun kali ini terdiam dan mengeluarkan kepalanya dari balik jubah yang biasa menutupi wajahnya. Ia mendengarkan, walau arah berdirinya  terbalik dan membelakangi orang-orang. Rupanya ia masih kebingungan, mencari-cari dari mana suara itu datang
"Oke, 36 bongkah. Dan, Anda, Pangeran Pertama, bagian sah Anda adalah setengah dari 35. Hasilnya menjadi 17,5 sedangkan Anda ingin mendapatkan 18 karena tidak mungkin berlian itu dipotong-potong. Oleh karena itu, kini, bila kita punya 36 maka bagianmu menjadi setengah dari 36. Kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau, yaitu 18 bongkah berlian!" Pangeran Pertama tertawa puas. Ia merasa mendapatkan apa yang diinginkannya, dan ia tak sabar ingin tahu siapa yang akan menjadi tumbal bagi kerugian di akhir pembagian itu.
Divka menengok ke arah Pangeran Kedua dan berkata, "Pangeran Kedua, kamu menuntut sepertiga dari 35, yaitu 11,6. Dan kamu menginginkan 12. Maka, dengan adanya 36 bongkah ini, sepertiganya adalah 12. Kamu boleh mendapatkan 12 bongkah berlian. Sejauh ini semua adil bukan?" Pangeran Kedua mengangguk seraya tersenyum gembira. Namun, wajah Penasihat Kerajaan terlihat ragu, sibuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. la melipat tangannya dan tidak melepaskan pandangannya dari Divka.
"Dan, kamu Pangeran Ketiga. Hoii! Pangeran Ketiga... hei! Lihat sini! Hoii!" Divka berteriak-teriak memanggil Pangeran Ketiga yang kini sudah berjalan menjauh dari meja, masih mencari-cari dari mana suara memanggil itu berasal.
"Eh, Penasihat Kerajaan, bisa tolong...." Divka melirik kepada Penasihat Kerajaan dan menunjuk ke arah Pangeran Ketiga yang kini sudah berada dekat pintu keluar. Diperlukan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk mengikat Pangeran Ketiga di kursinya. la tersenyum. Akhknya, ia menemukan sumber suara itu.
"Kamu, Pangeran Ketiga yang dungu! Sepersembilan dari 35 adalah 3,8 dan kamu akan saya beri 4, karena kita punya 36 bongkah sekarang. Sepersembilan dari 36 adalah 4, benar begitu? Tolong mengangguk kalau mengerti." Divka menatapnya tajam dan mengacungkan tongkat kayunya. Pangeran Ketiga mengangguk dan menjawab,
"Iya, aku mengerti. Sekarang aku tahu kalau sejak tadi itu yang berpidato adalah kamu. Kamu tahu tidak? Sedari tadi aku mencari-caa... hmmmp... hmp!"
Tongkat Divka kembali berayun dan mantra ia ucapkan,
"Slapstik!"
Dan, mulut Pangeran Ketiga seketika terkatup.
"Ya, sedari tadi, dong!" Pangeran Pertama berkomentar geli melihat Pangeran Ketiga yang bingung karena mulutnya tidak dapat dibuka. Kedua bibir menempel bagai diberi lem super.
"Tunggu! Lalu, bagaimana dengan bagian aku? Bukankah semua harus adil?" Buru-buru Penasihat Kerajaan berjalan mendekati Divka yang masih berdiri di atas meja kayu. Si Penasihat mengangkat kedua tangan untuk mengungkapkan kebingungannya.
"Sabar, bapak tua. Aku belum selesai. Eh, ngomongngomong, pernahkan ada yang berkomentar kalau kamu tidak pantas memakai jubah biru?" Divka menjawab dengan sinis.
"Kita akan menghitungnya kembali. Oke?" Lanjut Divka.
"Pangeran Pertama mendapatkan 18 bongkah, Pangeran Kedua mendapat 12 bongkah, dan Pangeran Ketiga mendapat 4 bongkah. Semuanya puas dan aku tidak melihat ada satu pun dari pangeran yang mengeluh. Nah, kini kita jumlahkan semua yang dimiliki oleh ketiga pangeran itu: 18 + 12 + 4 = 34. Padahal di sini kita punya 36 bongkah. Itu berarti 36 dikurangi 34 sama dengan 2. Yang satu jelas milikmu, Penasihat Kerajaan. Dan, yang satu lagi... menjadi milikku!" Ia melengkungkan tubuh indahnya ke depan, mengambil satu bongkah berlian yang paling besar lalu tertawa dan berkata,
 "Selesai sudah! Semua bahagia, tidak ada ilmu sihir, dan tidak ada yang dirugikan. Selamat malam para tamu kerajaan sekalian! Terima kasih atas undangan kalian hari ini. Senang berbisnis dengan orang-orang tolol macam kalian! Ha... ha... haaaaa!" la mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, dan mengangkat tangan kanannya yang sejak tadi menggenggam tongkat sihir. Tangan kirinya menggendong sebongkah berlian besar. Dan, sebelum orang-orang di sana sadar atas apa yang terjadi, Divka menyebutkan satu mantra lagi,
"Acrosdares... melienasitpos!"
 Kepulan asap ungu tiba-tiba keluar dari ujung tongkatnya, dan dengan seketika menyelimuti tubuh Divka. Seisi ruangan berkabut sehingga pandangan mata semua yang hadir terganggu, tidak dapat melihat jelas apa yang terjadi.
"Selamat tinggal!" Seru Divka untuk terakhir kalinya.
"KABUUM!"
 Ruangan pun kembali senyap. Asap ungu yang tadi mengepul di seantero ruangan raib entah ke mana. Yang tertinggal hanyalah 14 permaisuri, tiga pangeran, para tenia yang sebagian masih tertidur, Penasihat Kerajaan yang kebingungan dan sibuk menarik-narik janggut putihnya. Di meja kayu itu kini tersisa 35 bongkah berlian. Tidak ada yang dirugikan. 

Sumber: Mantra (Deddy Corbuzier)
Continue reading →

Divka Part I

0 komentar



"Tidaaakkkkk! Pokoknya itu tidak adil!" seru Pangeran Pertama.
"Tidaaakkkkk! Semuanya penipu!" teriak Pangeran Kedua.
"Curang! Semua yang ada di sini curang, tidak berperikemanusiaan!" sahut Pangeran Ketiga.
"Kamu, Pangeran Ketiga! Anak kecil, kamu tahu apa? Kamu hanya mau mendapatkan apa yang bukan jatahmu! Dan, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi selama hidupku!" Demikian sergah Pangeran Pertama, kali ini seraya membetulkan posisi mahkotanya yang setengah miring di atas kepalanya yang botak. Pangeran Kedua melihat mereka berdua dan mengernyitkan dahi, lalu membuka mulutnya yang besar dan berteriak,
 "Kamu juga jangan sok tahu, kamu pikir kamu sebagai pangeran paling tua, kamu akan mendapatkan segalanya?"
Pangeran Ketiga yang sesungguhnya sudah berumur 21 tahun, tatkala melihat kedua kakaknya bertengkar hebat, langsung berjongkok dan menutupi wajah dengan jubahnya. Walaupun paras bundarnya itu tertutup, isak tangisnya masih terdengar ke luar.
"Arghhh! Ini lagi! Dasar cengeng! Kamu sebaiknya jangan menjadi anak raja, tapi jadi anak babi, tahu?!" cetus kedua kakaknya serempak seolah sudah berlatih sebelumnya. Lalu, tiba-tiba pintu besar istana terbuka. Tampaklah seorang bertutup kepala biru yang tampaknya kebesaran untuk ukuran kepalanya. la berjanggut lebat berwarna putih, tubuhnya diselubungi sepasang sayap berwarna biru muda. la masuk dengan diiringi sekitar 20 tentara yang tampak jelas kerepotan dengan tombak-tombak mereka yang kepanjangan. "Aduh, hati-hati dong membawa tongkatrnu!" kata salah seorang pengawal yang kepalanya baru saja tersundul dari belakang. "Diaammm!" teriak orang bertutup kepala biru tersebut. Semua orang serentak terdiam. Orang itu pun melangkah maju seorang sendiri, tanpa sadar kalau para pengawalnya terdiam di tempat dan tidak ikut ber jalan maju. Lalu, mendadak ia berhenti. Demi merasakan ada yang tidak beres, ia menoleh ke belakang. Ketika melihat semua pengawalnya membeku di tempat, ia berseru marah,
"Dasar goblok! Siapa yang suruh kalian diam? Maju sini! Jangan cerewet! Bukannya diam di tempat, tolol!" Para pasukan kembali terkejut. Kalang kabut dengan tongkat-tongkat mereka yang kepanjangan, mereka pun segera berlari maju. Dan... berhenti tepat 5 cm di belakang pria bersayap biru itu!
"Wah, sekarang ada apa lagi? Mengapa Penasihat Kerajaan datang tanya Pangeran Pertama. la berkata sambil membungkukkan tubuh dan  yangmenyunggingkan seulas senyum, mengejek si orang berpenampilan serbabiru.
"Eh, memangnya kita harus membungkuk, ya, kalau dia datang?" tanya Pangeran Ketiga seraya berbisik pada Pangeran Kedua.
"Tidak, goblok! Pangeran Pertama cuma ingin meledek dia saja. Dasar, gendut telmi!" jawab Pangeran Kedua ketus.
"Eh, apa itu telmi?" tanya Pangeran Ketiga lagi.
"Rasanya kalian bertiga ini memang perlu sebuah aturan dan pendidikan yang baku di bangku sekolah kerajaan...." ujar si Penasihat Kerajaan.
"Hei! Jaga kata-katamu, Penasihat Kerajaan!" sergah Pangeran Kedua. Orang serbabiru itu tidak berkata apa-apa. la hanya menarik napas panjang, menebah dada, lalu berkata,
"Kalau saja ayah kalian masih hidup."
 Pangeran Ketiga lalu mendekati Pangeran Pertama dan bertanya, "Memangnya Ayahanda di mana?"
"Mati, bodoh! Ayahanda sudah meninggal! Berapa kali lagi kita harus menjelaskan pada orang tolol ini kalau orang mati tidak bisa hidup kembali?" la berseru keras. Tubuhnya yang kurus tinggi sedikit oleng tatkala ia harus membetulkan kembali letak mahkota di atas kepalanya yang botak dan licin. "Dia mirip kamu...," balas Pangeran Kedua yang juga tinggi kurus namun berambut panjang bak seniman kampung.
"Apa kamu bilang?! Jangan sekali-kali kamu samakan aku dengan kodok buduk ini!"
Pangeran Pertama tiba-tiba saja meloncat, menubruk Pangeran Kedua hingga jatuh terpental. Mereka pun saling pukul dan Pangeran Ketiga kembali berjongkok menutupi wajah dengan jubahnya. Ia menangis, kali ini meraung-raung. Demi melihat perkelahian itu, si Penasihat Kerajaan hanya bisa menghela napas, sementara para prajurit tampak kesulitan menahan tawa.
Kerajaan antah-berantah itu terletak di sebuah daerah yang amat luas, dengan kekayaan yang melimpah dan diperintah oleh seorang raja yang bijaksana. Sang Baginda Raja mempunyai 14 istri dengan hanya tiga orang anak. Sayangnya, ketiga putra tersebut tidak mewarisi sifat-sifat ayah mereka.
Tiga hari yang lalu, Sang Baginda Raja yang terkenal keperkasaannya itu secara mengejutkan wafat di atas ranjangnya. Menurut para tabib kerajaan yang datang memeriksa, Sang Baginda Raja terkena serangan jantung yang langka dan belum ada obatnya pada zaman itu. Sang Baginda Raja kemudian dknakamkan tak jauh dari istana, di pemakaman raja-raja. la meninggalkan warisan harta benda yang sangat banyak, ribuan hektar tanah, emas, dan berlian. Namun sayangnya, bukan otak dan kepandaiannya yang ia wariskan...
"Ayah kalian meninggalkan berbagai warisan yang sudah diatur sedemikian rupa, dan kalian harus menuruti..." Orang berpenampilan serbabiru itu tiba-tiba menyeletuk sendiri, tidak sabaran melihat kelakuan bodoh
"Mana bisa begitu, semuanya tidak adil!" sentak Pangeran Pertama yang kini sibuk mencekik Pangeran Kedua yang tertelentang di bawahnya.
"Semua ini tidak terjadi kalau orang tolol ini mau adil!" timpal Pangeran Kedua yang sejak tadi menarik-narik telinga Pangeran Pertama ke atas dan ke bawah. Pangeran Ketiga masih saja berjongkok, terus menangis dan mengusap hidungnya.
"Kalian harus lebih bisa mengendalikan diri," ujar si Penasihat Kerajaan yang ternyata juga mengenakan sepatu berwarna biru, seraya kembali menarik napas. Para prajurit semakin kesulitan menahan tawa.
"Sebenarnya apa yang kalian ributkan di sini?" tanya si Penasihat Kerajaan.
"Aku tidak suka dengan cara Ayahanda membagi bongkahan berliannya untuk kami bertiga... " jawab Pangeran Pertama. Kali ini ia sudah berdiri tegak, dan lagilagi membetulkan letak mahkotanya yang miring. Pangeran Kedua sengaja berdiri di belakang seraya mengacungacungkan jari tengahnya ke arah Pangeran Pertama.
"Yah, terserah kalian mau ngomong apa. Namun, itu lah yang ada di surat wasiat Ayahanda kalian." Tukas si Penasihat Kerajaan yang berpenampilan serba biru itu. Suasana mendadak hening sejenak. Kemudian si Penasihat Kerajaan mengambil selembar kertas yang tergulung bak teropong, membukanya, dan membacanya,
"Dengarkan ini. Ini adalah cara pembagian berlian untuk kalian bertiga. Saya rasa pembagian yang lain sudah tidak ada masalah lagi, bukan? Hanya soal pembagian berliannya saja."
"Ya, memang begitu." kata Pangeran Ketiga cepat, sambil mengintip dari balik jubahnya.
"Diam!" Sergah kedua pangeran dan si Penasihat Kerajaan dengan kompaknya. Pangeran Ketiga kembali meraung sambil menudungi kepalanya dengan jubah. Penasihat Kerajaan berkata,
"Hm... demikian pesan Sang Baginda Raja: 'Anak-anakku, apabila orang yang senantiasa berpakaian serbabiru itu membacakan surat ini, berarti Ayahanda kalian kini telah mangkat. Janganlah kalian bertiga bersedih hati. Walaupun Ayahanda tahu bahwa itu tidak mungkin, dan sebagai seorang ayah, tentu Ayahanda sangat mencintai kalian bertiga ....'"
"Hik...."
"Diam!" Serentak kedua pangeran yang lebih tua dan si Penasihat Kerajaan berteriak kembali kepada Pangeran Ketiga yang tak kuat menahan rasa harunya mendengar pesan terakhir Ayahandanya. "Mari kita sambung lagi," ujar si Penasihat Kerajaan. '
"Oleh karena Ayahanda sangat mencintai kalian bertiga, Ayahanda akan memberi kalian bertiga warisan sebagai berikut, bla... bla... bla ....' Kita langsung saja ke bagian pembagian bongkahan berlian, oke?" Tanya si Penasihat Kerajaan.
"Ya, cepat, cepat!" Balas Pangeran Kedua.
"Oke, kita mulai lagi. 'Dan setelah itu, bongkahan berlian juga akan dibagi di antara kalian bertiga dan Penasihat Kerajaan.' Hm... itu artinya saya juga mendapat bagian."
 "Cepat!" Kali ini ketiga pangeran yang berteriak.
"Oke,oke..., begini lah pembagiannya: 'Kerajaan mempunyai 36 bongkah berlian sebesar kepala rusa, di mana semua bongkahan akan dibagi menjadi empat bagian yang adil menurut saya sendiri. Untuk Penasihat Kerajaan diberikan hanya satu bongkah. Itu berarti sisanya yang 35 bongkah berlian untuk ketiga pangeran.” Semua terdiam sebentar. "Semua 35 bongkah berlian untuk ketiga pangeran.'"
Semua terdiam sebentar. "Semua 35 bongkah berlian itu, dibagi seperti ini: 1.1/2 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Pertama.
2. 1 /3 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Kedua. 3. 1/9 dari 35 akan diberikan kepada Pangeran Ketiga. Demikianlah keputusanku sebagai Sang Baginda Raja yang adil dan bijaksana. Wassalam...."
"Nah! Itu yang namanya tidak adil. Bayangkan saja kalau aku mendapatkan setengah dari 35 bongkah itu. Bukankah hasilnya adalah 17,5 bongkah? Mana mungkin bongkahan berlian itu dipotong setengah? Tidak masuk di akal bukan? Oleh karena itu, aku menuntut agar mendapat 18 bongkah!" cetus Pangeran Pertama.
"Itu akal bulus Pangeran Pertama, bukankah begitu Penasihat Kerajaan? Kalau ia menghendaki 18 bongkah, maka saya yang mendapatkan sepertiga bagian dari 35
'Tapi, kalau itu bisa menyelesaikan masalah kenapa tidak kita coba saja?" Tiba-tiba Pangeran Ketiga yang sedari tadi mendengarkan sambil mengunyah cokelat berbicara.
"Diaammmm!" Kini ada sekitar 43 orang yang serentak berteriak. Pangeran Ketiga pun menyembunyikan kepalanya dan terus mengunyah cokelat di balik jubahnya.
"Ini harus segera diselesaikan!" Pangeran Pertama berdiri dan mendongakkan dagunya, mencoba tampil sedikit berwibawa. Sebaliknya, ia malah tampak memalukan karena terus bergulat membetulkan mahkotanya yang kini menutupi matanya. Tetua Keempat kemudian ikut berdiri dan berkata,
"Ugh, sebenernya seh ini semua... ugh, urusan Penasihat Kerajaan, kenapa bukan dia ajah yang ngurus, ugh...." Tetua Keenam menimpali,
"Yo... betul yo...." Ruang rapat kini bak ruang debat kusir.... Semua ingin berpendapat, semua berdiri, semua berteriak. Bahkan, Pangeran Ketiga ikut-ikutan berdiri, melihat semuanya yang terjadi, mengepalkan tangannya, dan menangis lagi.... Hari terus berganti hari. Kali ini si Penasihat Kerajaan, yang ternyata bermata biru senada dengan pakaiannya, lebih pusing dari hari-hari biasanya. la kini ditunjuk oleh dewan yang beranggotakan ketiga pangeran, 14 permaisuri, dan banyak tetua untuk menjadi penanggung jawab surat wasiat Sang Baginda Raja. Kini, setiap hari ia mengurung diri di dalam kamarnya, sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan. Janggutnya semakin tipis. Dikarenakan stres berat, ia terus menarik-narik janggutnya.
"Apa yang harus kulakukan?" Ia bergumam sendiri. "Kalau aku memanggil Divka, mungkin segalanya akan menjadi tenang. Tapi, mungkin juga malah memperburuk keadaan. Kalau aku mencoba menyelesaikannya sendiri... bagaimana caranya?"
Sementara itu, nun jauh di suatu tempat, ada sebuah rumah tua yang bentuknya seperti sebuah jamur raksasa. Dari luar terlihat jelas kalau itu adalah rumah yang sudah tidak terurus. Sebelum dapat masuk ke dalam, Anda harus lebih dulu melewati ilalang yang tingginya hampir selutut. Ada sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu kali yang dipasang secara serampangan. Jalan kecil itu langsung mengarah ke pintu depan rumah. Di pinggiran jalan tampak berbagai macam tumbuhan yang tidak jelas rupanya, dan tidak jelas pula namanya Daun pintu rumah itu mungkin terbuat dari kayu jati yang sudah berusia ratusan tahun, miring, dan tidak pernah terkunci. Lagi pula siapa yang berani masuk ke dalam rumah Divka?
"Tolong... jangan... ampun!" teriak seorang pria yang kedua tangannya terikat di bagian belakang kepalanya, sementara kakinya terikat ke sebuah kursi. Pria itu duduk tanpa daya.
"Bagaimana bisa jangan? Kan itu termasuk dalam perjanjian kita!" Sambut seorang gadis muda yang amat cantik. Wajahnya putih halus, hidungnya bangir bagaikan lereng gunung dengan lekukan tajam, dan dagunya yang panjang menunjukkan keteguhan yang sempurna. Anak matanya berwarna cokelat, lancip wajahnya diselimuti oleh rambut hitam panjangnya.
"Tapi, aku pikir kau bercanda," ujar pria itu lagi sembari menutup mata. Rupanya ia sudah tak berdaya. Badannya yang kekar dengan rambut cepak tidak menambah kegagahannya dalam posisinya yang memelas saat ini.
"Heh! Memangnya aku pernah bercanda? Memangnya aku terkenal karena aku suka bercanda?" Sergah wanita muda itu. Tubuhnya yang tinggi langsing dengan lekukan indah dan terbungkus pakaian ketat serba hitam itu berjalan memutari pria tersebut, perlahan-lahan. Ia seolah menikmati apa yang sedang dilihatnya. Sesekali sayap hitamnya dikibaskibaskan untuk menggoda pria tersebut. "Tapi... aku tidak mau...."
 "Lalu, bagaimana dengan perjanjian kita?"
"Batalkan saja!"
"Enak saja! Kau pikir bisa begitu saja berjanji pada wanita, lalu menariknya kembali? Dasar pria!" Divka berjalan menghampirinya. Pria itu menutup matanya kembali dan mengulum bibirnya masuk ke dalam. Tubuh besarnya ditarik sedemikian rupa, memepetkan dirinya yang sudah terikat lebih masuk lagi ke dalam sandaran kursi.
"Jangan... jangan cium aku...," pintanya memelas. Divka menghampirinya, menutup matanya, memegang kedua sisi sisi sandaran kursi tersebut, dan sedikit membungkukkan tubuh eloknya. Sayap hitamnya sebagian menyentuh tanah dan menutupi kedua kakinya yang tertekuk, kemudian maju mendekat. Ia menempelkan bibirnya pada mulut pria yang sedang berusaha menyembunyikan bibirnya itu. Mengecupnya. Mendadak terdengar bunyi,
"ZZZZZ.. . Kabuum...!"
"Krookk... Krooook!"
 Divka kembali berdiri dan tersenyum simpul. la melihat ke bawah. Tangan kanannya terjulur ke atas bantalan kursi dan mengambil kodok hijau yang lumayan besar itu seraya berkata,
"Lain kali kalau berjanji pada wanita harus tepat waktu, ya, sayang. Masa aku harus menunggumu lebih dari 15 menit? Kamu kan harusnya tahu aku tidak suka pria yang tidak tepat waktu."
"Kroook!" Kodok hijau itu menjawab.
Dengan enteng Divka membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Bagian dalamnya tampak lebih kotor dari ruang sebelumnya. Di sana terdapat sebuah meja yang amat besar, dihiasi tumpukan buku yang berserakan memenuhi bagian atasnya. Sebagian terbuka dan sebagian tertutup. Buku-buku kuno nan tebal itu berisi ribuan mantra yang Divka pelajari selama 400 tahun terakhir ini. la lalu berjalan menuju sebuah sudut. Di sana terdapat sebuah kolam yang lumayan besar, dihiasi bebatuan dan beberapa jenis rerumputan. Dengan gerakan cepat, dilemparkannya kodok tersebut ke dalam kolam.
"Byur!"
Seketika itu juga kodok-kodok lain keluar. Ada sekitar 40 kodok di dalam sana, seakan serempak keluar untuk memberikan sambutan,
"Krook...krok! Krook!" Mereka seolah sedang mengobrol.
"Sudah! Tinggal saja di sana bersama teman-temanmu. Heran, mengapa semua pria sama saja!" ujar Divka sembari keluar dan membanting pintu, membiarkannya gelap tanpa secercah cahaya pun.
*********************************************************************************
"Ada yang tahu Ayahanda di mana?" Tanya Pangeran Ketiga yang sedari tadi berputar-putar di koridor kerajaan. Kali ini ia menanyai seorang prajurit yang kebetulan sedang berjaga di sana dengan tongkat panjangnya.
"Kamu tahu Ayahanda di mana?" Ulangnya lagi. Prajurit itu melihatnya dengan tatapan sedikit bingung. Tubuhnya yang kecil ditegak-tegakkan, tampak jelas bingung hendak menjawab apa.
"Tidak, Pangeran. Hamba tidak tahu." Akhirnya ia berhasil menjawab.
"Eh, kamu sedang repot tidak?"
"Ya, Pangeran. Hamba sedang repot, Pangeran," jawabnya tergesa-gesa.
"Mau menemaniku?" Tanya Pangeran Ketiga.
 "Kee... ke mana?"
"Mencari Ayahanda!"
"Di mana Pangeran?"
"Kalau aku tahu, aku bisa cari sendiri!" Kata Pangeran Ketiga ketus. Penjaga itu diam dan berpikir. Ada yang salah di sini dan yang pasti itu bukan dirinya. Berdiri tegak menjaga koridor memang bukan pekerjaan yang mengasyikkan. Namun, menemani Pangeran Ketiga berjalan mencari Sang Baginda Raja adalah pekerjaan yang akan menghabiskan waktunya hingga esok pagi.
 "Tidak bisa, Pangeran, nanti Penasihat Kerajaan bisa marah!" Si Penggawa pun memutuskan untuk menolak.
"Bilang saja aku yang menyuruh kamu. Ayo, ikut!" Tangan Pangeran Ketiga langsung menyambar pergelangan tangan kiri si Penggawa. Mereka berjalan beriringan hingga matahari terbenam ....
"Dong... dong... dong...," jam kukuk berdentangsebanyak 11 kali, menunjukkan hari sudah larut, pukul 11 malam. Dan, ruang rapat kini kembali dipenuhi para tetua, Pangeran Pertama, Pangeran Kedua, dan Penasihat Kerajaan beserta 14 permaisuri raja.
"Ugh, jadi bagaimana neh?" Tetua Keempat membuka percakapan. Semua terdiam melihat Penasihat Kerajaan yang sedang berdiri tepat di depan sudut meja. Penasihat raja yang masih berpenampilan serbabiru itu tampak berdiri sedikit menunduk. Kedua tangannya terkepal menempel di sisi atas meja, kepalanya tertunduk diam, mungkin sedang berpikir. Pangeran Pertama tiba-tiba berdiri dari kursinya, berdiri tegak mendongak sembari membetulkan mahkotanya yang hampir jatuh ke belakang la menatap si Penasihat Kerajaan dan berkata,
"Sampai saat ini kita tidak bisa menemukan Pangeran Ketiga. Menurutku akanlah sangat adil kalau bagian berlian dia diambil untuk menyelesaikan masalah ini!"
"Aku sudah bilang tidak bisa begitu caranya! Lagi pula aku sudah mengambil sebuah keputusan...." Penasihat Kerajaan menjawab. Tangannya terangkat dari meja. la pun mendongak seperti Pangeran Pertama dan berjalan mengitari meja besar yang berbentuk persegi panjang itu. Suasana menjadi hening, semua orang menanti.... Setelah berputar dan kembali ke tempamya semula, si Penasihat Kerajaan lalu berdiri membelakangi meja dan semua yang hadir di sana. Tangannya terlipat. Dengan suara pelan ia berkata,
"Kita akan memanggil Divka...."
"Arrrrrgggggghhhhh!"
Serentak semua orang yang hadir di ruang rapat berteriak. Pangeran Kedua jatuh dari kursinya dan terjerembap ke belakang. Para tetua berbicara sendiri-sendiri sembati menunjuk-nunjuk si Penasihat Kerajaan dan para permaisuri menangis meraung-raung. Tapi ada satu orang yang tampak senang, ia adalah Permaisuri Kesebelas. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Itu adalah keputusan akhirku sebagai Penasihat Raja, jadi tidak boleh diganggu gugat!" ujarnya tanpa membalikkan tubuh, tetap membelakangi semua orang. Matanya sesekali berusaha melirik ke kanan dan ke kiri untuk mengamati reaksi mereka, namun ia mencoba untuk terlihat berwibawa, walaupun ia sendiri bingung. Suasana semakin tegang. Semua orang saling menyalahkan dan Penasihat Kerajaan bersikukuh dengan keputusannya.
"Brakkk!"
Mendadak pintu ruang rapat terpentang lebar. Tampaklah Pangeran Ketiga yang berjalan sedikit sempoyongan seperti orang yang baru menyelesaikan lari maraton. Keringat mengucur deras dari kepalanya dan air matanya mengalir deras membasahi kerah jubahnya yang berwarna merah muda. Di belakangnya terlihat penggawa penjaga koridor tadi tengah menumpukan bobot tubuhnya pada tongkat panjang yang dipegangnya. Ia pun tampak jelas keletihan dan napasnya terputus-putus.
"Aa... aaku punya kabar buruk untuk kalian ssee... seemuaa...." Ujar Pangeran Ketiga sembari menahan air matanya. Pembicaraan terhenti dan semua menunggu. 

bersambung.........
Sumber: Mantra (Deddy Corbuzier)
Continue reading →

Coretan singkat tentang remaja disekitarku

0 komentar




Dari dulu aku sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu pemikiran tertentu, tetapi aku tidak mudah menilai atau menghakimi sesuatu , aku selalu berpikir dan mencari tahu sebab mengapa sesuatu hal bisa terjadi atau ada, terkadang kecenderunganku untuk berpikir membawaku pada kegalauan yang sangat menyiksa.. (galau galau).

Berawal dari kenyataan sosial pergaulan remaja sekarang di lingkungan sekitarku yang sangat jauh dari norma agama maupun norma sosial, sebagai seorang yang termasuk remaja seharusnya aku tidak memikirkan terlalu serius akan hal itu, tapi karena dari hari ke hari teman-teman sepermainanku yang sehati pada berubah dan perlahan mereka mengikuti arus jaman yang kacau membuatku merasa sendiri dalam memegang prinsip..

Aku selalu mengamati para remaja disekitarku itu, apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka kerjakan, apapula ideologi mereka yang membuat mereka mengambil sebuah keputusan tertentu,
Kemudian aku membuat hipotesa dari apa yang aku lihat dan ku dengar
Pemikiran remaja atau anak-anak ABG disekitarku cenderung sempit dan jangkauannya pendek, seperti pendidikan dan kehidupan sehari-hari, mereka tidak pernah mau berpikir untuk jangka panjang walau sebagian memang ada tetapi pada umumnya mereka meresa cukup dengan yang ada, entah ini filosofi bangsa indonesia atau agama tertentu, yaitu tidak mau neko-neko dan mereka juga tidak ingin sesuatu yang lebih dalam pengecualiannya terhadap uang dan duit atau money (dlm hal ini orang selalu ingin lebih hehe..).
Mereka juga tidak ingin menjadi kelompok minoritas, kita tahu bahwa kemiskinan dan kebodohan di negeri ini adalah mayoritas, jadi seseorang akan merasa malu ketika dalam sebuah perkumpulan tertentu dirinya terlihat pintar atau mempunyai wawasan yang luas, kebanyakan dari mereka tidak ingin menjadi pintar atau apa dan malah memilih tidak mau tahu, bagi mereka menjadi orang bodoh lebih bisa diterima dalam sebuah perkumpulan tertentu (yang tdk terorganisir).
Aku selalu melihat kenyataannya dalam sebuah perkumpulan remaja, kulihat mereka bangga menjadi seseorang yang serba tidak tahu, dan jika diantara mereka ada yang mempunyai pengetahuan lebih dia akan selalu menutupi diri karena dia "malu" bila terlihat "pintar" oleh sesamanya. Jadi kita bisa ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap orang ingin diterima dan tidak ingin berbeda dari yang lainnya.

Kemudian apa penyebab pergaulan bebas?



Menurutku kebanyakan dari mereka memperoleh pendidikan yang salah dari orang tua mereka, tidak adanya pendidikan seks sehigga mereka mencari tahu diluar sana dengan caranya sendiri, kurangnya pendidikan agama yang menyebabkan hilangnya keruhanian dalam diri mereka dan karena pergaulan yang tidak terkontrol menyebabkan kesenjangan antara orang tua dan anak dampaknya si anak merasa lebih dekat dan sehati dengan temannya daripada dengan kedua orang tuanya.

Dampak dan Kenyataan sosial
kebanyakan remaja disekitarku dikontrol oleh emosi dalam diri mereka, sedangkan logika hanya dipakai seperlunya saja, bisa ku katakan emosi dan logika persentasenya adalah 70:30, itu menurutku
Sehingga emosi seperti ingin menjadi dominan, gagah dan diakui oleh sebayanya menjadi terlalu diprioritaskan oleh mereka, memang sifat manusia pada umumnya sama. seperti ingin menjadi dominan, terlihat gagah, disegani dsb



Kemudian adanya istilah "normal" "wajar" dan "maklum" meracuni pemikiran mereka sehingga mempengaruhi kecenderungan sifat dan prilaku mereka dalam pergaulan sehari-hari. Kenapa kukatakan meracuni, karena istilah-istilah tersebut mereka pakai untuk memenuhi hawa nafsu dan berkelit dari aturan - aturan yang ada sehingga prilaku mereka menyimpang dari jalurnya, seperti contoh ada beberapa temanku yang kesehariaanya hanya seks bebas, alkohol, dan perkelahian. Ketika disinggung kelakuannya tersebut beberapa diantaranya menyebut diri mereka "normal"
lalu teman-teman disekeliling mereka berkata "wajar mumpung masih muda"
lalu para orang tua berkata"maklum anak muda"
sehingga hal seperti seks bebas, alkohol dan perkelahian menjadi biasa bukan lagi sesuatu yang tabu karena adanya dukungan dari pendahulu mereka, meski para orang tua akan menolak jika disudutkan tentang masalah dukungan mereka tersebut akan tetapi sudah jelas dengan memberikan alasan "maklum" para orang tua menyetujui prilaku remaja yang selalu menyimpang dari aturan-atuan dan mereka tidak ingin berbuat banyak hanya berharap anak-anaknya akan berubah setelah dewasa nanti.

Hal tersebut di atas pernah terjadi padaku belum lama ini, aku tidak munafik bahwa aku juga 'sedikit' terbawa arus pergaulan yang bebas, aku akan ceritakan sedikit pengalaman pribadiku
Beberapa bulan yang lalu aku mempunyai seorang pacar sebut saja namanya dinda, ketika itu aku masih polos soal pacaran remaja sekarang karena yang aku tahu dan yang pernah aku alami sebelumnya adalah pacaran klasik yang 'sehat', aku memang lama menjomblo setelah pacaran 5 tahun yang lalu, ketika itu aku masih kecil sehingga pacaran hanya lewat surat-suratan saja, hehe jadul sekali...

Dinda membawaku pada sesuatu hal yang baru, dia mengajarkanku sebuah kebebasan yang tak pernah aku alami sebelumnya hingga puncaknya kami melakukan sesuatu diluar batas wajar, kemudian aku menyesal dan mengkonsultasikan masalahku kepada beberapa teman dekatku, yang kuinginkan adalah sebuah solusi ketika itu untuk mengobati kegalauan yang aku rasakan, karena aku seorang yang religius aku tidak bisa membenarkan apa yang telah aku perbuat, tetapi sayang yang keluar dari mulut mereka adalah sebuah dukungan semata,
Mereka berkata

"ah itu wajar bro, namanya juga anak muda!"

"alah segitu aja koq pusing, kayak ngapain aja loe, yang namanya orang normal ya gitu.."

Dan masih banyak lagi tanggapan - tanggapan mereka yang intinya 'mendukung'ku, sedikit aku terpengaruh oleh mereka karena secara emosional aku menginginkannya dan dalam pandangan biologis apa yang telah aku alami adalah normal karena itu adalah kecenderungan alami manusia yang sedang memasuki masa kematangannya, hal ini mungkin terjadi pula pada remaja lainnya, dimana pihak lain membenarkan meski itu tidak benar karena ada alasan 'normal', 'wajar', dan 'maklum' seperti yang sudah aku katakan diatas

Aku tahu dimana ada keputusan pasti ada alasan, setiap orang pasti mempunyai alasan dalam setiap keputusan yang mereka ambil, jadinya aku tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja, aku sadar akan hukum sebab akibat yang ada didunia ini, kenapa kita ada? Kenapa kita hidup? Kenapa ada dunia? Jawabannya karena ada sebab-sebab tertentu.
Pada dasarnya keputusan yang kita ambil itu sifatnya relatif, aku kasih contoh dari pernyataan temanku pada suatu hari ketika dia disinggung soal kebisaan jeleknya

"bro, kerjaan mu terus dosa tau ga" kataku
"aku Cuma pernah denger seorang ustadz ngomong gini, katanya onani sama ML hukumnya sama saja" jawabnya enteng

Dari obrolan singkat diatas kita tahu bahwa temanku mempunyai sebuah perbandingan, yaitu onani relatif atau berbanding dengan ML (making love), sehingga dia mengambil sebuah keputusan untuk melakukan ML yang lebih enak dan puas ketimbang onani.
Ada juga temanku yang didukung oleh pamannya sendiri, dan dia tergiur akan jalan hidup yang dulu diambil oleh pamannya, dia bilang begini:

"kata pamanku, semasa muda kayak kita ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, lihat saja sekarang pamanku hidupnya bener setelah menikah" katanya dengan yakin
"emang sebelumnya gimana?" tanyaku
"ya begitulah, nyoba ini nyoba itu, katanya biar ngga penasaran lagi, dan sekarang liat aja dia jadi baik karena katanya dia udah merasakan hidup bebas di masa mudanya"
Lalu temanku memberikan contoh lain lagi padaku
"aku juga punya saudara laki-laki yang sudah menikah, ketika mudanya dulu dia adalah seorang pendiam, tidak suka main perempuan. Kemudian dia menikah tanpa pacaran dulu, tapi tau ga sekarang dia gimana?" tanya nya
"ga bener!" tebakku
"ya ga bener, sekarang dia suka main keluyuran kesana kemari, selingkuh dari istrinya,, itu karena dia dulu suka diam, keinginannya dipendam terus, masa mudanya tidak dimanfaatkan jadinya dia masih penasaran dgn dunia luar"

Secara psikologis aku katakan pernyataan dan pemahaman temanku benar, mari kita simak pernyataan psikolog yang aku search di google

"Setiap tahap perkembangan manusia biasanya dibarengi dengan berbagai tuntutan psikologis
yang harus dipenuhi, demikian pula pada masa remaja. Sebagian besar pakar psikologi setuju,
bahwa jika berbagai tuntutan psikologis yang muncul pada tahap perkembangan manusia tidak
berhasil dipenuhi, maka akan muncul dampak yang secara signifikan dapat menghambat
kematangan psikologisnya di tahap-tahap yang lebih lanjut"

Setelah kita simak penuturan seorang psikolog diatas kita bisa menyimpulkan bahwa setiap keinginan dan kebutuhan di masa remaja harus terpenuhi atau terlaksanakan karena tahap-tahap selanjutnya kebutuhannya akan berubah dengan cepat, ini cocok dengan pandangan temanku itu, dia bilang kita harus merasakan apa-apa yang belum kita rasakan agar dimasa tua nanti tidak penasaran lagi. 

Kemudian ada juga temanku yang menjadi liar karena pergaulan, aku bisa katakan bahwa pergaulan adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap prilaku remaja, manusia selalu membutuhkan orang lain, siapapun pasti tidak bisa hidup sendiri di dunia ini, sehingga terbentuklah suatu perkumpulan tertentu sesuai dengan kecenderungan berbuat dan minat
Aku mempunyai seorang teman yang sangat dekat denganku, awalnya dia sehati denganku tapi kemudian diapun berubah seperti yang lainnya, karena dia menemukan seorang kawan yang baru yang mungkin lebih sehati.
katanya apa yang aku lakukan dan apa yang aku pikirkan sekarang sudah ketinggalan jaman, sudah usang, sudah jadul menurut dia yang jaman sekarang adalah berprilaku seperti orang-orang barat, seks bebas dan minum-minuman keras, menurutnya hal itu sudah jamannya dan bukan lagi sesuatu hal yang tabu dalam masyarakat

Memang segala keputusan yang ada didunia ini sifatnya relatif, kita tidak bisa mengatakan sesuatu itu jelek kalau kita tidak melihat sesuatu yang baik sebelumnya dan begitupun sebaliknya, ini menjadikanku alasan kenapa kukatakan mereka 'salah' karena aku melihat sesuatu yang 'benar' dalam aturan-aturan, norma sosial maupun agama sebelumnya.



Aku sadar di jaman sekarang ini tidak banyak orang yang menjunjung tinggi agama, kebanyakan dari mereka malah menjauhinya dan tidak mau berurusan dengan agama, mereka seolah takut kebebasannya terampas, ini membuktikan kepada kita bahwa pengaruh kaum liberalisme barat begitu melekat pada sendi-sendi kehidupan kita, dimana kaum liberalisme mengajarkan pada kita sebuah kebebasan berprilaku, berfikir dan berkehendak tanpa dibelenggu oleh aturan tertentu seperti agama.

Dalam tulisan ini aku hanya menggambarkan kehidupan remaja disekitarku, hanya menggambarkan dan hanya disekitarku saja, jadi tentu saja gagasan dan pendapatku soal kehidupan remaja tidak sepenuhnya benar atau bersifat universal bagi setiap remaja

tapi aku akan mencoba keluar suatu hari nanti untuk lebih mengenal mereka diluar sana....

Salam !!










Continue reading →

Labels