"Kk... kkalian haa... haarus
tahu ini...." Pangeran Ketiga berusaha berbicara kendati airmatanya seolah
tak terbendung lagi. "Sse... seetelah aku selidiki... aa... aaku pikir,
aa... aaku pii... ppiikir, Ayahanda mungkin sudah meninggal!"
Beberapa hari setelah rapat akbar
itu digelar, perintah untuk menjemput Divka pun dikeluarkan oleh Penasihat
Kerajaan. Lebih kurang 120 prajurit terbaik ia perintahkan untuk segera
menyambangi tempat tinggal Divka. Mereka ditugasi untuk memboyong gadis muda
itu ke istana guna membantu menyelesaikan masalah pembagian bongkahan berlian
warisan Sang Baginda Raja.
"Oke, sekarang siapa yang
akan pertama-tama masuk ke dalam rumahnya?" Tanya Kepala Prajurit yang
berjongkok di antara ilalang, masih jauh dari kediaman Divka yang tak terawat.
Tidak terdengar suara sedikit pun. Para prajurit hanya berdiam diri dan tetap
berjongkok seperti yang dilakukan komandannya. Mereka semua tampak pucat lesi,
menahan sakit perut masing-masing. Tak seorang pun berani berhadapan dengan
wanita penyihir tersebut. Walaupun jarak mereka dengan rumahnya masih sekitar
satu kilometer, rasa jeri sudah menghantui mereka semua.
"Kalau tidak ada yang maju,
saya akan menunjuk salah satu dari kalian!" Putus si Kepala Prajurit. Para
prajurit semakin terdiam. Kali ini mereka semua menundukkan kepala, bahkan ada
yang berusaha berjalan jongkok, mundur perlahan-lahan. Ada yang merebahkan
dirinya agar luput dari pengamatan sang komandan. Ada pula yang komat-kamit
mengucapkan doa.
"Dasar! Kalian pengecut
semuanya! Kalau saja aku bukan kepala prajurit dan tidak bertanggung jawab
untuk membawa berita acara nanti malam bagi Penasihat Kerajaan, aku pasti sudah
menjadi orang pertama yang berjalan masuk ke dalam rumah itu!" Bentak si
Kepala Prajurit yang mendadak berdiri dan menatap tajam para prajuritnya yang
kini lebih menundukkan kepala lagi.
Tiba-tiba saja ada sekelebat
bayangan kecil yang meloncat di belakang si Kepala Prajurit, menabrak sebuah
pohon dan menimbulkan bunyi keras.
"Argghh, ampun! Tolong,
jangan...." Seru si Kepala Prajurit seraya menekukkan tubuhnya dalam
posisi jongkok dengan kedua tangan menudungi kepala.
"Eh, komandan, itu tadi
tupai ...." Ucap Prajurit Keenam Belas yang kebetulan berada di posisi
paling depan.
"Saya tahu!" Balas si
Kepala Prajurit ketus, sembari berdiri kembali.
"Itu tadi hanya ejekan untuk
kalian saja, huh!" Lanjutnya, berusaha membetulkan reaksinya. Namun, wajah
pucatnya masih terlihat jelas dan sukar disembunyikan begitu saja.
Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, ingin memastikan bahwa itu tadi
memang hanya seekor tupai.
"Kamu!" Katanya
mengejutkan dengan telunjuk teracung ke arah Prajurit Keenam Belas.
"Masuk ke dalam rumah Divka
sekarang juga!" Perintahnya. Prajurit Keenam Belas mendongak, matanya
melotot bagai baru melihat hantu. Mulumya ternganga tidak percaya.
"Kok saya? Kenapa saya
...." Tanyanya.
"Diam! Jalankan perintah! Apa susahnya,
sih? Kamu tinggal masuk dan mengatakan bahwa Divka diminta untuk bertamu ke kerajaan.
Itu saja!" Potong si Kepala Prajurit dan bertolak pinggang. "Kalau
begitu, kenapa bukan komandan saja?" Omel si prajurit.
Sementara itu, Divka tengah sibuk
menghafalkan mantra-mantra barunya. la duduk di sebuah kursi kayu berwarna
cokelat tua yang terletak di depan sebuah perapian. Kedua kakinya dinaikkan ke
atas meja yang penuh sesak dengan buku-buku. Mulutnya komat-kamit, sementara
tangan kanannya bergerak-gerak di udara bak mernimpin sebuah orkestra.
"Koleadiosipriska!" Teriaknya
serentak mengacungkan tangannya ke arah sebuah lukisan di dinding batu yang berada
di sisi kanannya.
"Kabuum!"
Lukisan kucing hitam itu
tiba-tiba bergerak sendiri. Kucing itu kemudian meloncat keluar dari lukisan
dan mengeong di atas lantai. la menjadi kucing hidup.
"Tok, tok, tok...."
Terdengar oleh Divka suara pintu diketuk dari luar. la tetap diam membaca
bukunya. Dengan acuh tak acuh ia bergumam,
"Masuk!"
Pintu terbuka. Prajurit Keenam
Belas melongok ke dalam, sementara para prajurit lain dan komandan mereka tetap
menunggu di kejauhan. Sambil berharap-harap cemas mereka melihat apa yang akan
terjadi sambil bersembunyi.
"Eh, selamat siang...,"
kata Prajurit Keenam Belas seraya beringsut masuk ke dalam ruang tersebut.
Kepalanya menunduk, tangannya gemetaran sedangkan kedua lututnya saling beradu.
"Malioscipkas!" Divka kembali mengayunkan tangannya, namun kali ini
ditujukan pada prajurit malang itu. Seketika kepulan asap keluar dari
sekeliling Prajurit Keenam Belas. Wajahnya yang ketakutan menengok ke kanan dan
ke kiri, tetap menggenggam erat tongkatnya yang terus goyah. Asap putih itu
tiba-tiba masuk seolah tersedot ke dalam tubuhnya dan ....
"Klontang!" Suara
tongkat terjatuh pun terdengar keras. Sekejap mata, pintu rumah terbuka kembali
dan seekor babi mungil berwarna merah muda menggunakan topi prajurit keluar
dari rumah itu. Si babi berjalan cepat dengan mengegal-egolkan ekor kecilnya
menuju tempat persembunyian para prajurit lain.
Begitu lah... hari terus
bergulir. Tibalah sore hari. Rombongan prajurit tersebut akhirnya berhasil
membawa Divka dengan menandunya ke kerajaan. Turut meramaikan rombongan itu,
seekor babi kecil nan montok, empat ekor monyet, dua ekor ayam, dan 13 kodok.
Semuanya masih mengenakan topi prajurit.
Singkat cerita, pintu ruang rapat
dibuka kembali. Banyak orang ada di dalam, termasuk si Penasihat Kerajaan, para
permaisuri, para tetua, dan ketiga pangeran. Tapi, ada yang sedikit berbeda di
sana. Divka juga di sana!
"Kami membutuhkan
bantuanmu...," ujar Penasihat Kerajaan, memulai percakapan.
Semua orang yang hadir saat itu
tidak dapat melepaskan pandangan mereka dari Divka. Wanita cantik penyihir itu
duduk di salah satu kursi rapat, seperti biasa ia duduk sambil mengangkat kaki.
Karena tidak ada yang mau duduk dekatdekat dia, Divka mendapat ruang yang membuatnya
leluasa. Di hadapannya ditempatkan berpuluh-puluh kursi yang didempetkan
menjadi satu,
memain-mainkan tongkat kayunya
yang berukuran sekitar setengah meter. Setiap kali ia mengangkat tongkat itu,
semua kepala yang ada di depannya menunduk ketakutan karena mereka percaya
tongkat itu adalah tongkat sihir. Tentu mereka enggan mengalami nasib yang sama
dengan prajurit-prajurit yang datang menjemputnya.
"Ehm... kami memerlukan
bantuanmu...," ulang si Penasihat Kerajaan, memberanikan diri menghampiri
Divka dan menarik kursi untuk duduk di sampingnya.
"Ya, aku mendengar."
Balas Divka. Ia terus memutarmutar tongkataya. Alhasil, semua orang di depannya
serentak menundukkan kepala, menghindari arah putaran tongkamya. Keributan
kecil pun terjadi. Kepala Pangeran Ketiga terbentur meja pada saat ikut-ikutan
menunduk. Dan, seperti biasa ia mengerang-erang kesakitan.
"Heh! Lucu juga, ya, si Bego
itu...," bisik Divka kepada si Penasihat Kerajaan seraya menunjuk kearah
Pangeran Ketiga.
"Ya, saya tahu. Itu juga
permasalahan lain. Namun, kami punya sebuah masalah yang sangat mendesak dan
kami ingin meminta Anda membantu kami untuk menyele saikannya...," jelas
Penasihat. Kali ini matanya melotot pada Pangeran Ketiga, mengisyaratkan dia
agar diam.
"Apa? Dan, kalau saya bisa
membantu kamu, apa yang saya dapatkan?" Divka pun menolehkan wajah
tirusnya ke arah Penasihat Kerajaan. Tongkat kayunya diangkat dan ditempelkan
pada dagu si Penasihat Kerajaan. Mendorong dagu itu ke atas.
"Eh, sebuah penghargaan dari
kerajaan... dan kami berjanji tidak akan menjelek-jelekkan nama Anda di
belakang Anda lagi." Penasihat menjawabnya dengan mata melirik ke bawah
karena kini wajahnya terangkat tinggi oleh tongkat Divka.
"Oh, berarti kalian sering
menjelek-jelekkan aku selama ini, toh?" Tongkatnya dilepaskan dari dagu si
Penasihat Kerajaan dan diacungkannya dari kiri ke kanan, menunjuk semua yang
hadir di sana. Lagi-lagi kepala Pangeran Ketiga terbentur meja di depannya.
"Terima kasih, aku suka
pujian semacam itu. Semakin banyak kalian menghina aku, semakin aku senang!
Nah, anggaplah kalau memang aku ingin membantu kalian, apa yang harus
kulakukan?" Divka kembali bertanya kepada si Penasihat Kerajaan. la
memperbaiki posisi duduknya. Wajahnya kini dibuat menjadi lebih serius dengan
rambut hitam panjangnya tergerai menutupi setengah wajah. Tongkat sihirnya ia
letakkan di atas meja. Akhirnya, semua orang bisa menarik napas lega.
Si Penasihat Kerajaan pun berdiri
dari kursinya dan berjalan gagah di hadapan semua orang, lalu menerangkan
segala permasalahan kepada Divka,
"Kami mempunyai warisan yang
diterima dari Sang Baginda Raja yang baru saja wafat. Masalahnya adalah soal
membagi bongkahan berlian. Di antara harta bendanya, Sang Baginda Raja
mempunyai 36 bongkah berkan yang sangat besar, dan ia ingin membaginya menjadi
empat. Saya sendiri mendapatkan satu sebagai tanda terima kasih Baginda atas
pengabdian saya. Sisanya yang 35 bongkah dibagi sebagai berikut: 1.1/2 dari 35 akan
diberikan kepada Pangeran Pertama. 2. 1/3 dari 35 akan diberikan kepada
Pangeran Kedua. 3. 1/9 dari 35 diberikan kepada Pangeran Ketiga."
"Lalu?" Divka yang kini
sedang memerhatikan wajah Pangeran Ketiga mengajukan pertanyaan. Sesekali ia
menyeringai kepada Pangeran Ketiga yang mengintip dari balik jubahnya. Seolah
jubah itu ia gunakan sebagai perisai.
"Lalu, ketiga pangeran ini
tidak mau membaginya dengan adil. Hm... karena memang susah untuk dibagi secara
adil. Pangeran Pertama meminta 18 bongkah, padahal seharusnya hanya 17,5.
Pangeran Kedua meminta 12 di mana seharusnya hanya 11,6. Dan, hal itu jelas
akan merugikan Pangeran Ketiga, yang saya yakin, seandainya ia tidak tolol
seperti ini juga akan meminta lebih!"
"Aku juga ingin lebih!"
Teriak Pangeran Ketiga sambil mengintip dari balik jubahnya. Semua orang yang hadir
di sana menatapnya dan untuk sekali lagi mereka dengan kompak berteriak kepada
Pangeran Ketiga,
"DIAAAAAAAAMMM!"
Divka tertawa geli melihat hal
ini. la pun berdiri dari kursinya dan berjalan berkeliling ruangan. Semua orang
kembali tak bersuara. Kibasan jubah, sayap, dan pakaian hitam Divka
mengeluarkan aroma harum yang sangat nikmat seperti mawar di pagi hari.
Sesekali Pangeran Pertama mencuri pandang, berharap seandainya saja wanita
langsing berpakaian serbahitam ini bukan seorang penyihir. "Mungkin ia sudah kujadikan
permaisuri." Pikir Pangeran Pertama.
"Tok!"
Demikian bunyi tongkat kayu yang
mendarat di atas kepala Pangeran Pertama, menyebabkan mahkotanya jatuh miring
menutupi mata kanannya.
"Jangan berpikir yang
tidak-tidak, monyet! Kamu pikir aku mau kamu sentuh? Sekali lagi pikiranmu
kotor begitu, kamu akan aku ubah menjadi bekicot! Mengerti?" Bentak Divka.
Kebetulan ia berdiri tepat di belakang Pangeran Pertama ketika ia melancarkan
pukulan dengan telak. Pangeran Pertama hanya tertunduk, bahkan tidak mau
repotrepot membetulkan letak mahkotanya. Ia tidak berani berkomentar apa pun
juga, apalagi berpikir untuk membalas. Ia mencoba mengosongkan pikiran.
Divka kembali berjalan dan
akhirnya kini berhadapan langsung dengan si Penasihat Kerajaan. Mereka berdua
saling pandang beberapa detik.
"Lalu?" Tanya Penasihat
Kerajaan yang mulai merasa risi dengan pandangan tajam Divka.
"Aku bisa membantu
kalian...," jawab Divka.
"Tapi ada
syaratnya...," Penasihat Kerajaan menyambut berita itu sebelum Divka
sempat menuntaskan kalimatnya.
"Apa?" tanya Divka
cepat sembari menyipitkan matanya dan melemparkan pandangan tajam ke arah Si
Penasihat Kerajaan.
"Tanpa ilmu sihir!"
Tegas Penasihat Kerajaan. Divka kembali diam, berpikir keras. la berdiri lama
sambil menopangkan dagunya di atas jemari tangannya yang lentik. Jemari yang
dihias oleh berbagai cincin perak yang terukir indah, salah satunya berbentuk
kepala tengkorak berlilit ular. Para hadirin menanti dengan penuk penasaran.
"Baik, tanpa ilmu
sihir!" Katanya menyetujui.
"Dan satu lagi...,"
sergah Penasihat Kerajaan.
"Apa lagi?" Potong
Divka.
"Tanpa ada yang
dirugikan!"
"Oke... tanpa ilmu sihir dan
tanpa ada yang dirugikan!" Divka kembali mengangguk.
"Sekarang begini, saya ingin
segera menuntaskannya. Ikuti semua perintah saya. Saya ingin semua bongkahan
berlian itu dalam waktu lima menit ada di atas meja ini!" Sentak Divka.
Lima menit kemudian 36 bongkah
berlian, dengan kilauan jernih bagaikan cermin terkena sinar matahari, sudah
terkumpul di atas meja. Para prajurit yang mengangkuti berlian-berlian itu
terkapar di atas tanah, kehabisan napas karena harus menguras semua sisa tenaga
untuk membawa 36 berlian kurang dari lima menit. Para permaisuri tampak tidak
berkedip menikmati indahnya cahaya yang terpantul oleh lapisan-lapisan
bongkahan berlian. Beberapa di antaranya berbisik-bisik membicarakan keindahan
berlian-berlian itu, beberapa saling sirik dan mengiri atas pembagian yang
dianggap tidak adil itu. Ketiga pangeran berdiam diri dan berpikir,
mengira-ngira apa yang akan dilakukan Divka. Si Penasihat Kerajaan mengawasi
Divka agar ia tidak berbuat curang. Dan, para tetua kebanyakan sudah tertidur
pulas di kursinya masingmasing.
"Aku akan membantu kalian
dengan syarat yang kalian minta, tidak menggunakan ilmu sihir dan tidak ada
yang dirugikan." Ucap Divka sembari meraba salah satu bongkah berlian di
atas meja tersebut.
"Namun untuk
melaksanakannya, aku membutuhkan kerendahan hati dari kamu!" Tangannya
menunjuk pada Penasihat Kerajaan.
"Maksudmu?" Tanya si
Penasihat Kerajaan seraya mengernyitkan dahi. Tangannya kembali sibuk
memuntirmuntir janggut putihnya.
"Aku harus meminjam bongkah
berlianmu, dengan janji akan aku kembalikan seutuhnya, dan kamu tidak akan
dirugikan sama sekali. Setuju?"
"Bagaimana aku bisa percaya
padamu?"
"Kalau begitu aku pulang saja!"
Sentak Divka tak sabar.
Serentak Pangeran Pertama dan
Kedua berteriak,
"Hei, yang benar dong!
Penasihat macam apa kamu? Tidak mau merelakan sebentar milikmu untuk menjaga
keutuhan kerajaan?"
Penasihat Kerajaan kembali diam, dan kemudian
mengangguk kendati di dalam hati merasa sangat kesal. Bahkan terlintas di
kepalanya bahwa membawa Divka ke kerajaan itu bukanlah hal yang baik sama
sekali. Namun, semua sudah terjadi, kini mereka harus menunggu hasilnya dengan
pasrah. "Baiklah! Lakukan yang menurutmu baik!"
"Nah, itu yang kutunggu dari
tadi. Sekarang, semua dengarkan kata-kataku. Aku ingin semua orang menyimak.
Pasang kuping kalian baik-baik, jangan ada sedikit pun dari perkataanku yang
teriewat. Dan, ini berlaku untuk semua yang ada di ruangan ini!" Divka
kemudian meloncat ke atas meja. Sayapnya terkembang indah bagai kilatan
bayangan hitam, dan ia mendarat dengan begitu gemulai. Sulit dibedakan apakah
ia sekadar meloncat atau terbang ke atas meja.
"Hm, kini kita memiliki 36 bongkah
berlian. Jadi, kita lupakan dulu kalau satu di antaranya adalah milik Penasihat
Kerajaan." Ujar Divka dengan tegas. Semua yang hadir berdiam diri untuk
mendengarkan dengan saksama. Bahkan, Pangeran Ketiga pun kali ini terdiam dan
mengeluarkan kepalanya dari balik jubah yang biasa menutupi wajahnya. Ia
mendengarkan, walau arah berdirinya terbalik
dan membelakangi orang-orang. Rupanya ia masih kebingungan, mencari-cari dari
mana suara itu datang
"Oke, 36 bongkah. Dan, Anda,
Pangeran Pertama, bagian sah Anda adalah setengah dari 35. Hasilnya menjadi
17,5 sedangkan Anda ingin mendapatkan 18 karena tidak mungkin berlian itu
dipotong-potong. Oleh karena itu, kini, bila kita punya 36 maka bagianmu menjadi
setengah dari 36. Kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau, yaitu 18 bongkah
berlian!" Pangeran Pertama tertawa puas. Ia merasa mendapatkan apa yang
diinginkannya, dan ia tak sabar ingin tahu siapa yang akan menjadi tumbal bagi
kerugian di akhir pembagian itu.
Divka menengok ke arah Pangeran
Kedua dan berkata, "Pangeran Kedua, kamu menuntut sepertiga dari 35, yaitu
11,6. Dan kamu menginginkan 12. Maka, dengan adanya 36 bongkah ini,
sepertiganya adalah 12. Kamu boleh mendapatkan 12 bongkah berlian. Sejauh ini
semua adil bukan?" Pangeran Kedua mengangguk seraya tersenyum gembira.
Namun, wajah Penasihat Kerajaan terlihat ragu, sibuk menebak-nebak apa yang
akan terjadi selanjutnya. la melipat tangannya dan tidak melepaskan
pandangannya dari Divka.
"Dan, kamu Pangeran Ketiga.
Hoii! Pangeran Ketiga... hei! Lihat sini! Hoii!" Divka berteriak-teriak
memanggil Pangeran Ketiga yang kini sudah berjalan menjauh dari meja, masih
mencari-cari dari mana suara memanggil itu berasal.
"Eh, Penasihat Kerajaan,
bisa tolong...." Divka melirik kepada Penasihat Kerajaan dan menunjuk ke
arah Pangeran Ketiga yang kini sudah berada dekat pintu keluar. Diperlukan
waktu kurang lebih sepuluh menit untuk mengikat Pangeran Ketiga di kursinya. la
tersenyum. Akhknya, ia menemukan sumber suara itu.
"Kamu, Pangeran Ketiga yang
dungu! Sepersembilan dari 35 adalah 3,8 dan kamu akan saya beri 4, karena kita
punya 36 bongkah sekarang. Sepersembilan dari 36 adalah 4, benar begitu? Tolong
mengangguk kalau mengerti." Divka menatapnya tajam dan mengacungkan
tongkat kayunya. Pangeran Ketiga mengangguk dan menjawab,
"Iya, aku mengerti. Sekarang
aku tahu kalau sejak tadi itu yang berpidato adalah kamu. Kamu tahu tidak?
Sedari tadi aku mencari-caa... hmmmp... hmp!"
Tongkat Divka kembali berayun dan
mantra ia ucapkan,
"Slapstik!"
Dan, mulut Pangeran Ketiga
seketika terkatup.
"Ya, sedari tadi,
dong!" Pangeran Pertama berkomentar geli melihat Pangeran Ketiga yang
bingung karena mulutnya tidak dapat dibuka. Kedua bibir menempel bagai diberi
lem super.
"Tunggu! Lalu, bagaimana
dengan bagian aku? Bukankah semua harus adil?" Buru-buru Penasihat
Kerajaan berjalan mendekati Divka yang masih berdiri di atas meja kayu. Si
Penasihat mengangkat kedua tangan untuk mengungkapkan kebingungannya.
"Sabar, bapak tua. Aku belum
selesai. Eh, ngomongngomong, pernahkan ada yang berkomentar kalau kamu tidak
pantas memakai jubah biru?" Divka menjawab dengan sinis.
"Kita akan menghitungnya
kembali. Oke?" Lanjut Divka.
"Pangeran Pertama mendapatkan
18 bongkah, Pangeran Kedua mendapat 12 bongkah, dan Pangeran Ketiga mendapat 4
bongkah. Semuanya puas dan aku tidak melihat ada satu pun dari pangeran yang
mengeluh. Nah, kini kita jumlahkan semua yang dimiliki oleh ketiga pangeran
itu: 18 + 12 + 4 = 34. Padahal di sini kita punya 36 bongkah. Itu berarti 36
dikurangi 34 sama dengan 2. Yang satu jelas milikmu, Penasihat Kerajaan. Dan,
yang satu lagi... menjadi milikku!" Ia melengkungkan tubuh indahnya ke
depan, mengambil satu bongkah berlian yang paling besar lalu tertawa dan
berkata,
"Selesai sudah! Semua bahagia, tidak ada
ilmu sihir, dan tidak ada yang dirugikan. Selamat malam para tamu kerajaan
sekalian! Terima kasih atas undangan kalian hari ini. Senang berbisnis dengan
orang-orang tolol macam kalian! Ha... ha... haaaaa!" la mendongakkan
kepalanya, memejamkan mata, dan mengangkat tangan kanannya yang sejak tadi
menggenggam tongkat sihir. Tangan kirinya menggendong sebongkah berlian besar.
Dan, sebelum orang-orang di sana sadar atas apa yang terjadi, Divka menyebutkan
satu mantra lagi,
"Acrosdares...
melienasitpos!"
Kepulan asap ungu tiba-tiba keluar dari ujung
tongkatnya, dan dengan seketika menyelimuti tubuh Divka. Seisi ruangan berkabut
sehingga pandangan mata semua yang hadir terganggu, tidak dapat melihat jelas
apa yang terjadi.
"Selamat tinggal!" Seru
Divka untuk terakhir kalinya.
"KABUUM!"
Ruangan pun kembali senyap. Asap ungu yang
tadi mengepul di seantero ruangan raib entah ke mana. Yang tertinggal hanyalah
14 permaisuri, tiga pangeran, para tenia yang sebagian masih tertidur,
Penasihat Kerajaan yang kebingungan dan sibuk menarik-narik janggut putihnya.
Di meja kayu itu kini tersisa 35 bongkah berlian. Tidak ada yang dirugikan.
Sumber: Mantra (Deddy Corbuzier)