Kau seorang perempuan muda bergaya khas
metropolis selalu datang setiap malam. kau cantik dan memang selalu
berpenampilan menarik. Berbagai macam warna gaun, sepatu atau tas berbagai merk
terkenal, bahkan perhiasan telah kau pakaikan di beberapa bagian tubuhmu yang
indah, setiap malam kau tak terlihat bahagia atau muram wajahmu selalu datar
tanpa ekspresi dan tak ada yang berubah di setiap malam… seperti
itu saja..
Seperti biasa kau duduk di kursi emper
pinggir jalan dan lamunanmu tentang masa silam selalu datang. Anganmu kembali ke masa dimana kau hanya
mengerti dunia adalah tempat yang indah, saat dimana kau selalu melihat tatapan
teduh ibumu di malam hari saat dia pulang atau saat menemani mu memandang
langit berbintang, di saat seperti itu kemudian datang sebuah gejolak alur dari
kehidupan masa lalumu…
Pagi itu kau hanya meratapi sisa tangis
semalam. Suara tangis ibumu membuatmu kalut. Sebagai seorang labil kau sangat
malu dan sedih. Sebagai seorang labil kau sangat marah… marah sekali.
“Dinda.. buka Nak, ayo sekolah ini sudah
siang” seorang mengetuk pintu dari luar.
“Aku gak mau sekolah!” sahutmu dengan kesal
“Ayo buka Nak..” Ibumu membujuk
“Dinda lebih baik mati dari pada sekolah!”
“Buka dulu pintunya Nak, Mama bisa jelaskan..”
“Gak usah, aku gak mau lihat Mama lagi!!”
kau menyeludupkan kepalamu di bawah bantal.
kau rumuskan berbagai kejadian memalukan
yang membuatmu tidak lagi bersedih, melainkan telah membuat klimaks kemarahan
di ubun-ubun kepalamu. Saat itu sebenarnya kau ingin bergeming, tapi saat kau
bergeming rasa malu yang menjadi amarah yang meruntuhkan tekadmu. Dinda…kau
memang masih labil, dan wajar rasanya jika kau berperasaan demikian.. Wajar kau
katakan itu pada dirimu sendiri
Kemudian kau sudah tak tahan lagi!
Mendengar cemoohan teman-teman sekolah atau tetangga sekitar rumah yang
membuatmu mati berdiri.
Kau tak habis pikir dan masih tak percaya
saat kejadian dimalam itu yang meruntuhkan pendirianmu selama ini. kau melihat
dengan mata kepala sendiri, ibu yang sangat kau banggakan tengah dirangkul sang
hidung belang kaya untuk masuk ke sebuah penginapan...
Kala itu kau tersergap. Terdiam, Wajahmu
pasi tanpa kedipan. Kau merasa telah dibodohi oleh ibumu sendiri dan kau sangat
terluka, terasa menyayat hati dan kau menangis tertahan..
Ternyata dalam kasus seorang gadis remaja
yang labil sepertimu cemoohan tetangga lah yang menang. kau harus menelan
kenyataan, bahwa ibumu memang wanita
j*lang. Sia-sia sudah selama ini kau membela dan tidak membenarkan sesuatu yang
memang demikian adanya. Jangankan sekolah, berjumpa matahari pun rasanya kau
tak sanggup, malu sekali! Apa lagi yang akan dikatakan teman-temanmu,
tetanggamu? Apa lagi yang akan kau bela? Kau rasa sudah tak ada lagi..
“Dinda..!” Ibumu mengetuk lagi.
Kemudian kau bersedia membuka pintu kamar.
Tapi tak sempat ibumu berucap, kau sudah berlari pergi dengan cepatnya..
“Dinda ingin mati!!” teriakmu sambil
berlari, sungguh kau merasa tak ada guna lagi untuk hidup, kau takut dengan
teman-temanmu, kau takut dengan tetanggamu dan kau menjadi takut kepada
orang-orang
Sebagai naluri seorang ibu ia mengejarmu.
Wanita paruh baya itu sangat mencintaimu lebih dari apapun, lebih dari dirinya
sendiri. Walaupun ia harus terpaksa menjual kehormatannya demi kehidupanmu,
puteri semata wayangnya. Dia berfikir, apa sih yang bisa dikerjakan di dalam
kota besar oleh seorang wanita yang mulai tua, tak berpendidikan dan tak
memiliki keahlian.. ia hanya seorang janda yang hidup berdua dengan putrinya di
tengah kebutuhan hidup yang menggunung. Apa lagi yang bisa dikerjakannya agar
dapat memenuhi itu semua..
Tapi saat itu kau terlanjur dan terlalu
kecewa untuk mengerti semuanya. Yang bisa kau lakukan hanya berlari dan menangis, yang kau pikirkan
saat itu hanya rasa malu dan ingin mati tak ada lagi selain itu, jiwamu telah
gelap nyaris tanpa cahaya.
Kemudian kau sampai di sebuah tempat yang
selalu dikunjungi orang-orang. Kau merasa sangat sendiri dan kesepian di
keramaian. kau ingin mengadu, ingin bersandar, ingin teriak dan luapkan.. namun
tak ada tempat atau seorang pun yang dapat meringankan bebanmu. kau semakin
hancur dan semakin membulatkan hati untuk menghentikan rasa malu yang
menghantuimu..
Lalu kau melihat kendaraan panjang besar
yang melaju secepat kilat akan segera lewat, kau berlari menghampiri, menunggu
kereta itu menghantam tubuhmu. Rasanya mati lebih asyik, atau mungkin tak
pernah hidup yang lebih baik.
“Dinda..! awas Nak..” teriak ibumu begitu
tercengang
Naluri
seorang ibu bertindak lagi. Dengan cepat wanita itu berlari ke arah mu
dan hulu kereta..
GLLKK..
Dia terlentang. Sesaat lalu adalah nafas
terakhirnya. Di tengah ramainya insan yang mengerumuni, kau memecahkan tangismu
lagi..
Wanita yang rela mengorbankan apapun
untukmu itu kini telah tiada. Terlempar sejauh 15 meter membuatnya meregang
nyawa, tubuhnya penuh luka berlimpah darah.. wanita itu benar-benar sudah
tiada.. Ibumu telah pergi untuk selama lamanya.
Tiid.. Tiid..!
Klakson mobil sporty memecah fatamorgana,
menyeretmu keluar dari lamunan yang takkan terlupa.
“Dinda sayang.. Ayo..” ajak seorang pria
dari dalam mobil itu
Kau terperanjak dari duduk, mendekat pada
jalanan lalulintas kota, masuk dan duduk ke kursi sebelah pria bergaya maskulin
yang memegang stir kemudi.
Lalu kau pergi..