(Dinda XIII) Fatamorgana

0 komentar



Kau seorang perempuan muda bergaya khas metropolis selalu datang setiap malam. kau cantik dan memang selalu berpenampilan menarik. Berbagai macam warna gaun, sepatu atau tas berbagai merk terkenal, bahkan perhiasan telah kau pakaikan di beberapa bagian tubuhmu yang indah, setiap malam kau tak terlihat bahagia atau muram wajahmu selalu datar tanpa ekspresi  dan  tak ada yang berubah di setiap malam… seperti itu saja..
Seperti biasa kau duduk di kursi emper pinggir jalan dan lamunanmu tentang masa silam selalu datang. Anganmu kembali ke masa dimana kau hanya mengerti dunia adalah tempat yang indah, saat dimana kau selalu melihat tatapan teduh ibumu di malam hari saat dia pulang atau saat menemani mu memandang langit berbintang, di saat seperti itu kemudian datang sebuah gejolak alur dari kehidupan masa lalumu…

Pagi itu kau hanya meratapi sisa tangis semalam. Suara tangis ibumu membuatmu kalut. Sebagai seorang labil kau sangat malu dan sedih. Sebagai seorang labil kau sangat marah… marah sekali.

“Dinda.. buka Nak, ayo sekolah ini sudah siang” seorang mengetuk pintu dari luar.
“Aku gak mau sekolah!” sahutmu dengan kesal
“Ayo buka Nak..” Ibumu membujuk
“Dinda lebih baik mati dari pada sekolah!”
“Buka dulu pintunya Nak, Mama bisa jelaskan..”
“Gak usah, aku gak mau lihat Mama lagi!!” kau menyeludupkan kepalamu di bawah bantal.

kau rumuskan berbagai kejadian memalukan yang membuatmu tidak lagi bersedih, melainkan telah membuat klimaks kemarahan di ubun-ubun kepalamu. Saat itu sebenarnya kau ingin bergeming, tapi saat kau bergeming rasa malu yang menjadi amarah yang meruntuhkan tekadmu. Dinda…kau memang masih labil, dan wajar rasanya jika kau berperasaan demikian.. Wajar kau katakan itu pada dirimu sendiri
Kemudian kau sudah tak tahan lagi! Mendengar cemoohan teman-teman sekolah atau tetangga sekitar rumah yang membuatmu mati berdiri.
Kau tak habis pikir dan masih tak percaya saat kejadian dimalam itu yang meruntuhkan pendirianmu selama ini. kau melihat dengan mata kepala sendiri, ibu yang sangat kau banggakan tengah dirangkul sang hidung belang kaya untuk masuk ke sebuah penginapan...
Kala itu kau tersergap. Terdiam, Wajahmu pasi tanpa kedipan. Kau merasa telah dibodohi oleh ibumu sendiri dan kau sangat terluka, terasa menyayat hati dan kau menangis tertahan..

Ternyata dalam kasus seorang gadis remaja yang labil sepertimu cemoohan tetangga lah yang menang. kau harus menelan kenyataan, bahwa ibumu  memang wanita j*lang. Sia-sia sudah selama ini kau membela dan tidak membenarkan sesuatu yang memang demikian adanya. Jangankan sekolah, berjumpa matahari pun rasanya kau tak sanggup, malu sekali! Apa lagi yang akan dikatakan teman-temanmu, tetanggamu? Apa lagi yang akan kau bela? Kau rasa sudah tak ada lagi..

“Dinda..!” Ibumu mengetuk lagi.
Kemudian kau bersedia membuka pintu kamar. Tapi tak sempat ibumu berucap, kau sudah berlari pergi dengan cepatnya..
“Dinda ingin mati!!” teriakmu sambil berlari, sungguh kau merasa tak ada guna lagi untuk hidup, kau takut dengan teman-temanmu, kau takut dengan tetanggamu dan kau menjadi takut kepada orang-orang

Sebagai naluri seorang ibu ia mengejarmu. Wanita paruh baya itu sangat mencintaimu lebih dari apapun, lebih dari dirinya sendiri. Walaupun ia harus terpaksa menjual kehormatannya demi kehidupanmu, puteri semata wayangnya. Dia berfikir, apa sih yang bisa dikerjakan di dalam kota besar oleh seorang wanita yang mulai tua, tak berpendidikan dan tak memiliki keahlian.. ia hanya seorang janda yang hidup berdua dengan putrinya di tengah kebutuhan hidup yang menggunung. Apa lagi yang bisa dikerjakannya agar dapat memenuhi itu semua..

Tapi saat itu kau terlanjur dan terlalu kecewa untuk mengerti semuanya. Yang bisa kau lakukan  hanya berlari dan menangis, yang kau pikirkan saat itu hanya rasa malu dan ingin mati tak ada lagi selain itu, jiwamu telah gelap nyaris tanpa cahaya.
Kemudian kau sampai di sebuah tempat yang selalu dikunjungi orang-orang. Kau merasa sangat sendiri dan kesepian di keramaian. kau ingin mengadu, ingin bersandar, ingin teriak dan luapkan.. namun tak ada tempat atau seorang pun yang dapat meringankan bebanmu. kau semakin hancur dan semakin membulatkan hati untuk menghentikan rasa malu yang menghantuimu..
Lalu kau melihat kendaraan panjang besar yang melaju secepat kilat akan segera lewat, kau berlari menghampiri, menunggu kereta itu menghantam tubuhmu. Rasanya mati lebih asyik, atau mungkin tak pernah hidup yang lebih baik.

“Dinda..! awas Nak..” teriak ibumu begitu tercengang
Naluri  seorang ibu bertindak lagi. Dengan cepat wanita itu berlari ke arah mu dan hulu kereta..
GLLKK..
Dia terlentang. Sesaat lalu adalah nafas terakhirnya. Di tengah ramainya insan yang mengerumuni, kau memecahkan tangismu lagi..
Wanita yang rela mengorbankan apapun untukmu itu kini telah tiada. Terlempar sejauh 15 meter membuatnya meregang nyawa, tubuhnya penuh luka berlimpah darah.. wanita itu benar-benar sudah tiada.. Ibumu telah pergi untuk selama lamanya.

Tiid.. Tiid..!
Klakson mobil sporty memecah fatamorgana, menyeretmu keluar dari lamunan yang takkan terlupa.
“Dinda sayang.. Ayo..” ajak seorang pria dari dalam mobil itu
Kau terperanjak dari duduk, mendekat pada jalanan lalulintas kota, masuk dan duduk ke kursi sebelah pria bergaya maskulin yang memegang stir kemudi.
Lalu kau pergi..









Leave a Reply

Labels