Sebuah Jalan, Sebuah Pilihan

0 komentar

Jalanan sepi dan basah, Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat mu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting pohon. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan?

kau meletakkan bokong mu di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaanmu. Jemari tanganmu yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutmu. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiak. Kopor hitam didekap kedua lututmu yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhmu yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. kau sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupmu

kau urung membakar sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya. kau masukan kembali rokok itu ke dalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawamu pergi dari tempat itu tak juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadimu serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. kau meraba dadamu, seakan mengukur kemampuanmu untuk bertahan.

Di langit bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.

kau mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialamimu. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatimu. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan remajamu yang singkat dan muram. kau meremas sapu tangan seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang sekian lama dipupukmu. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarimu menyentuh tembakau yang terburai dari kertasmu yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.

Dibakarnya batang rokok yang koyak separuh, lantas kau sedot setengah hati. kau membuang ludah yang terasa pahit di lidah. Tenggorokanmu bagai terbakar, panas dan perih. Di telingamu suara nyamuk berdenging, menggigit kulitmu yang halus dan masih menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.

Pandanganmu terus menyorot ke kanan sampai lehermu pegal; arah dari mana dirimu muncul tersaruk menyeret kopor. Ketegangan menyerang tubuhmu. kau merasakan urat-urat leher menegang dan kaku. Taksi yang ditunggumu tak pernah muncul. Jalan itu memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. kau lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini kau linglung dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatmu.

kau mengetatkan dan menaikkan kerah jaket mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, kau telah bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam ingatanmu. kau serasa mendengar umpatan papa. Mendengar jeritan mama dan Ning, kakak sulungmu. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan. kau tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatanmu dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatmu membenci mereka. Mama dan papa seingatmu tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki. Tak pernah kau lihat mereka duduk bersama, bercengkerama, apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk dicium saat dirimu berangkat sekolah.

kau dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan mama yang membuatmu terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah pulang kecuali dalam keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara yang membuatmu mau muntah. kau sendiri menggigil di balik pintu kamar. Adikmu, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante kirana di kamar.

kau tahu, Rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall; bukan anak dari benihnya. Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.

Batang rokok terakhir sudah habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar kau remas. Sesaat kau menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara. Wajahmu menegang lagi seperti ada anak-anak yang menarikmu. Suasana makin hening. Gemeretak gigimu terdengar nyaring. kau melepas tas dari pundak kemudian kau peluk. Meletakkan pipi di atasmu.

Seperti yang kau lakukan saat hatimu tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, dinda?" tanya teman laki-lakimu melihat kau murung.
"Tidak apa-apa, kak," jawabmu seraya menatap mata laki-laki itu.
"Dinda masih tak mempercayai kakak? Hmm."
"Tidak. Kak jangan sentimentil, donk."

Mereka sudah cukup lama berhubungan. kau tidak pernah mencintai seseorang seperti kau mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya. Laki-laki itu ketagihan pijatanmu yang enak. Pelayananmu yang serba lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual, kata orang-orang. kau suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya yang selalu kebiruan. kau terpesona pada gaya bicara dan terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun, mengobrolkan entah apa denganmu.

"Kenapa dinda memilih hidup seperti ini?" demikian laki-laki yang kau panggil kakak itu pernah bertanya.
"Kenapa?" kau balik bertanya.
"kak Pengin dengar ceritanya."
"Buat apa?"
"Nama dinda bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian orang tua dinda, kakak kira."

Obrolan-obrolan serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah kau tentang kebencianmu pada mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi Riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatmu membenci mereka semua.

"Itu yang membuat dinda memilih begini?"
kau tak menjawab. teringat pada keputusan besarmu: mengkastrasi kelaminmu, mengubahnya menjadi vagina. kau yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena kebencianmu pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati atau masih gentayangan entah di mana.

"Apakah salah."
dia tidak menjawab. kau sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana kau juga tidak perlu tahu sungguhkah dia mencintaimu? Disimpan saja keraguan itu. kau berharap dia sungguh-sungguh.

"kakak laki-laki, bukankah dinda perempuan?" ujarnya seakan mengerti perasaanmu.
"Hmm, dinda gembira. Tapi tidakkah ini …"

kau menepuk-nepuk telapak tanganmu, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludah yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun jatuh tepat di pangkuanmu. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakimu. Di langit lapisan awan tebal tak menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelarianmu dari rumah dengan mencuri semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin kau meninggalkan rumah yang kau kutuk bagai kamp penyiksaan bagi jiwamu.

Dengan percaya diri kau menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. kau adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang kau kelola tak pernah sepi pelanggan. kau tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawanmu.

Rupanya mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalimu ketika kau menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.

"Siapa kamu?" tanya tante kirana yang menjaga mama. kau tak merasa perlu menjelaskan dirimu. kau hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup kau mendengar teriakan tante kirana memanggilmu, "Rava, Rava…" Sesunggguhnya kau ingin menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberanianmu tiba-tiba menguap entah ke mana.

kau menelan ludah. Lamat kau dengar suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. kau menggeser dudukmu, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas tanpa menoleh ke arahmu.

Bertahun-tahun kau tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua impitan peristiwa masa kanak. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit ingatanmu. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, kau mendengar kabar mama meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante kirana ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.

kau memejamkan mata, berusaha membebaskan dari impitan ingatan. Tetapi peristiwa lain yang menyeretmu ke tempat ini menyerbu kepala. kau mendengar kabar perselingkuhan dia dengan penari bar. Santi, karyawan setiamu yang mengatakan kabar itu. kau mendatangi hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka. Perasaanmu berdebar kencang saat memijit tombol lift.

Di kamar yang dituju kau hanya mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. kau sempat menampar perempuan itu. kau ingin menuntaskan kegeramanmu dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak kau lakukan, kau masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, kau mengakhiri pertengkaran dengan meletakkan mata belati yang berkilat di dada perempuan itu sambil membisikkan ancaman,

"Lupakan dia, atau ujung belati ini merobek jantungmu."

kau melangkah pelan menyusuri karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salon, kau melihat dia sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.

"Mulai malam ini, jangan campuri urusan kakak, waria haram jadah!"

Peristiwa berikutnya berlangsung begitu cepat. kau menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu kau banting di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutmu, mencekikmu, menampar kedua pipimu sangat keras, sampai bibirmu pecah. kau limbung beberapa saat, kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di muka, kau meraih pedang panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.

Malam sudah melewati separuh perjalana. kau masih di duduk di bangku halte. Mengutuk perasaanmu sendiri yang begitu sentimentil. Kini kau teringat Santi. kau memintanya tidak mengikuti dirimu.

"Pergilah, Santi, jangan ikuti dinda. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar dinda pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab dinda belum tahu tempat mana yang akan dituju."

Hatimu bagai teriris melihat punggung karyawan setiamu itu pergi membawa tangisnya yang mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba kau merasa dirimu begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalamu tak kuat lagi disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelangganmu yang setia. Hidupmu terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk pergi dari situ. Begitu akhirnya kau memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi menggiringmu ke penjara.



Leave a Reply

Labels