Jalanan
sepi dan basah, Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu,
sehingga paras pucat mu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran
cahaya lampu terhalang ranting pohon. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu
saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan?
kau
meletakkan bokong mu di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi
perasaanmu. Jemari tanganmu yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah
yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutmu. Sebuah tas kecil terbuat dari
kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiak. Kopor
hitam didekap kedua lututmu yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhmu
yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras,
sukar dibendung. kau sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami
sepanjang hidupmu
kau
urung membakar sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya. kau masukan kembali
rokok itu ke dalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawamu pergi
dari tempat itu tak juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga
dan denyut nadimu serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. kau
meraba dadamu, seakan mengukur kemampuanmu untuk bertahan.
Di
langit bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan
berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau
gonggongan anjing. Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus
dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul
lengang seperti kuburan.
kau
mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialamimu. Bukan hanya rentetan
peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatimu. Melainkan terutama peristiwa yang
dialami masa kanak dan remajamu yang singkat dan muram. kau meremas sapu tangan
seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis
ketegaran yang sekian lama dipupukmu. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket,
mencari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarimu menyentuh
tembakau yang terburai dari kertasmu yang koyak karena gesekan dan saku jaket
yang lembab.
Dibakarnya
batang rokok yang koyak separuh, lantas kau sedot setengah hati. kau membuang
ludah yang terasa pahit di lidah. Tenggorokanmu bagai terbakar, panas dan
perih. Di telingamu suara nyamuk berdenging, menggigit kulitmu yang halus dan
masih menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh
kelam.
Pandanganmu
terus menyorot ke kanan sampai lehermu pegal; arah dari mana dirimu muncul
tersaruk menyeret kopor. Ketegangan menyerang tubuhmu. kau merasakan urat-urat
leher menegang dan kaku. Taksi yang ditunggumu tak pernah muncul. Jalan itu
memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan
seperti itu. kau lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali
ini kau linglung dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatmu.
kau
mengetatkan dan menaikkan kerah jaket mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak
bisa dihalau, kau telah bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan
yang berdiam dalam ingatanmu. kau serasa mendengar umpatan papa. Mendengar
jeritan mama dan Ning, kakak sulungmu. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke
mana pun dibenturkan. kau tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu
menjauhkan ingatanmu dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatmu membenci
mereka. Mama dan papa seingatmu tak pernah bertemu kecuali untuk saling
menumpahkan caci maki. Tak pernah kau lihat mereka duduk bersama,
bercengkerama, apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk dicium saat dirimu
berangkat sekolah.
kau
dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama disertai
bentakan, lantas lengkingan mama yang membuatmu terhenyak malam-malam. Disusul
denting gelas dan cangkir beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah
pulang kecuali dalam keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama.
Mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil
mendesiskan suara-suara yang membuatmu mau muntah. kau sendiri menggigil di
balik pintu kamar. Adikmu, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante
kirana di kamar.
kau
tahu, Rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak
hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall;
bukan anak dari benihnya. Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran
malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.
Batang
rokok terakhir sudah habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar
kau remas. Sesaat kau menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara
bergerak dari arah selatan tanpa suara. Wajahmu menegang lagi seperti ada
anak-anak yang menarikmu. Suasana makin hening. Gemeretak gigimu terdengar
nyaring. kau melepas tas dari pundak kemudian kau peluk. Meletakkan pipi di
atasmu.
Seperti
yang kau lakukan saat hatimu tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu
kenapa, dinda?" tanya teman laki-lakimu melihat kau murung.
"Tidak
apa-apa, kak," jawabmu seraya menatap mata laki-laki itu.
"Dinda
masih tak mempercayai kakak? Hmm."
"Tidak.
Kak jangan sentimentil, donk."
Mereka
sudah cukup lama berhubungan. kau tidak pernah mencintai seseorang seperti kau
mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan
rambutnya. Laki-laki itu ketagihan pijatanmu yang enak. Pelayananmu yang serba
lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas
pada urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria
metroseksual, kata orang-orang. kau suka menatap lekat-lekat rahangnya yang
kukuh, dagunya yang selalu kebiruan. kau terpesona pada gaya bicara dan
terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan
rambut, biasanya laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut
oleh embun, mengobrolkan entah apa denganmu.
"Kenapa
dinda memilih hidup seperti ini?" demikian laki-laki yang kau panggil
kakak itu pernah bertanya.
"Kenapa?"
kau balik bertanya.
"kak
Pengin dengar ceritanya."
"Buat
apa?"
"Nama
dinda bagus."
"Ah."
"Bukan
nama pemberian orang tua dinda, kakak kira."
Obrolan-obrolan
serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah kau tentang
kebencianmu pada mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi
Riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatmu membenci
mereka semua.
"Itu
yang membuat dinda memilih begini?"
kau
tak menjawab. teringat pada keputusan besarmu: mengkastrasi kelaminmu,
mengubahnya menjadi vagina. kau yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan,
bukan karena kebencianmu pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati
atau masih gentayangan entah di mana.
"Apakah
salah."
dia tidak menjawab. kau sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana kau
juga tidak perlu tahu sungguhkah dia mencintaimu? Disimpan saja keraguan itu.
kau berharap dia sungguh-sungguh.
"kakak
laki-laki, bukankah dinda perempuan?" ujarnya seakan mengerti
perasaanmu.
"Hmm,
dinda gembira. Tapi tidakkah ini …"
kau
menepuk-nepuk telapak tanganmu, membersihkan debu puntung rokok. Menelan
ludah yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin
pekat. Selembar daun jatuh tepat di pangkuanmu. Seekor kucing tiba-tiba
mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakimu. Di langit lapisan awan tebal
tak menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelarianmu dari rumah dengan mencuri
semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin kau
meninggalkan rumah yang kau kutuk bagai kamp penyiksaan bagi jiwamu.
Dengan
percaya diri kau menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai
usaha membuka salon. kau adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang kau
kelola tak pernah sepi pelanggan. kau tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri
malam-malam di perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan
kawan-kawanmu.
Rupanya
mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak
mengenalimu ketika kau menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu
pucat dan renta.
"Siapa
kamu?" tanya tante kirana yang menjaga mama. kau tak merasa perlu
menjelaskan dirimu. kau hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi
meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup kau mendengar
teriakan tante kirana memanggilmu, "Rava, Rava…" Sesunggguhnya kau ingin
menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberanianmu tiba-tiba
menguap entah ke mana.
kau
menelan ludah. Lamat kau dengar suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa.
kau menggeser dudukmu, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat,
dan melintas tanpa menoleh ke arahmu.
Bertahun-tahun
kau tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua
impitan peristiwa masa kanak. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit
ingatanmu. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, kau mendengar kabar mama
meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante
kirana ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.
kau
memejamkan mata, berusaha membebaskan dari impitan ingatan. Tetapi peristiwa
lain yang menyeretmu ke tempat ini menyerbu kepala. kau mendengar kabar
perselingkuhan dia dengan penari bar. Santi, karyawan setiamu yang mengatakan
kabar itu. kau mendatangi hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup
alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka.
Perasaanmu berdebar kencang saat memijit tombol lift.
Di
kamar yang dituju kau hanya mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi
perang mulut. kau sempat menampar perempuan itu. kau ingin menuntaskan
kegeramanmu dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak kau
lakukan, kau masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, kau mengakhiri
pertengkaran dengan meletakkan mata belati yang berkilat di dada perempuan itu
sambil membisikkan ancaman,
"Lupakan
dia, atau ujung belati ini merobek jantungmu."
kau
melangkah pelan menyusuri karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan
suara. Tiba di salon, kau melihat dia sudah berdiri di sana sambil berkacak
pinggang.
"Mulai
malam ini, jangan campuri urusan kakak, waria haram jadah!"
Peristiwa
berikutnya berlangsung begitu cepat. kau menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu
kau banting di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutmu,
mencekikmu, menampar kedua pipimu sangat keras, sampai bibirmu pecah. kau
limbung beberapa saat, kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya
berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di muka,
kau meraih pedang panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan
kalap memotong-motong mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.
Malam
sudah melewati separuh perjalana. kau masih di duduk di bangku halte. Mengutuk
perasaanmu sendiri yang begitu sentimentil. Kini kau teringat Santi. kau
memintanya tidak mengikuti dirimu.
"Pergilah,
Santi, jangan ikuti dinda. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah
sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar dinda
pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab dinda belum tahu tempat mana yang akan
dituju."
Hatimu
bagai teriris melihat punggung karyawan setiamu itu pergi membawa tangisnya
yang mencekam.
Hujan
turun lagi. Tiba-tiba kau merasa dirimu begitu tua, lelah dan teraniaya.
Kepalamu tak kuat lagi disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak
sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelangganmu yang
setia. Hidupmu terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk
kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk
pergi dari situ. Begitu akhirnya kau memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi
menggiringmu ke penjara.