Dinda
ingatkah dulu ketika kita memandangi layang - layang yang baru saja dibawa
ayahmu dari kota?. Ukurannya begitu besar, tidak seperti yang lainnya, tidak
seperti layang - layang teman - teman
kita, layang layang mu ada kuunciran dan ekor nya yang mengundang keceriaan
masa kanak kanak kita.
Dan
di sebuah tanah lapang kita mendampingi ayahmu menerbangkan dan memainkan
layang layang yang ukurannya itu lebih besar dari tubuh kita yang mungil,
tiupan angin kencang menerbangkan layang layang elok ke angkasa. Kuncirannya
dan ekor terus berurai-urai membentuk irama gerak yang begitu indah.
Kemudian
sesekali kita mencoba berganti posisi dengan ayahmu untuk belajar mengendalikan
terbangnya layang layang. Kau pun berdecak kagum dan akupun berdecak kagum.
Matamu berbinar menatapi keelokan layang - layang yang sedang terbang
diangkasa,
"ayah,"
ucapmu tiba-tiba, ayahmu pun menoleh
"ayah, dinda ingin bisa seperti layang-layang. Bisa
terbang kemana mana diangkasa " tambahmu sambil terus menatapi gerak gerik
layang-layang".
Mendengar
itu ayahmu pun membelai rambut pendekmu mu yang berkuncir dua
"sebaiknya
dinda tidak berandai andai jadi layang-layang sayang!" ucap ayahmu
"kenapa,
ayah? Kan kalo dinda jadi layang-layang dinda bisa liat kebawah, bisa liat
bulan dengan dekat, dan bisa terbang pokoknya" sergahmu penuh tanda tanya,
dan aku mengiyakan kata kata mu
"dinda,
jangan pernah berandai andai jadi layang layang, coba dinda lihat meski
layang-layang berada di tempat yang tinggi, tapi tetapkan dikendalikan dari
bawah" jelas ayahmu bijak
Dan
tentu pemahaman kita belum sampai ke sana waktu itu, yang kita tahu
layang-layang yang terbang itu indah
Ayahmu
mengerti kapasitas pemahaman kita namun dia tampaknya ingin melanjutkan nasihatnya,
tali nylon layangan itu dililitkannya pada sebuah pohon.
"anak
anakku kemarilah!" ucap ayahmu pada kita
Di
tepi tanah lapang ada sebuah kursi kayu panjang, kita duduk di sana mengikuti
ajakan ayahmu sementara layang-layang kita biarkan terbang dan nylon nya
terikat pada sebuah pohon
"anak-anak
ku dengarlah, setiap orang ingin selalu berada di tempat tinggi. Ingin menjadi
pemimpin yang disegani, menjadi orang teratas di organisasi, perusahaan bahkan
mungkin negara namun, berhati hatilah ketika optimisme meraih posisi tinggi itu
tidak sejalan dengan idealisme dan
kemampuan diri yang memadai. Karena kita bisa seperti layang-layang. Berada di
posisi yang paling tinggi, sementara sang pengendali ada di bawah. Ia berada di
posisi tinggi karena ada 'tangan-tangan' di bawah yang membuatnya tinggi.
Keelokannya di ketinggian itu hanya permainan sang tangan dan tiupan
angin."
Tentu
bahasa ayahmu terlalu sulit untuk kita waktu itu, namun ayahmu pasti tahu suatu
saat nanti kita juga akan beranjak dewasa dan mengerti sepenuhnya apa yang
dikatakannya. Dan dinda sekarang ayahmu telah tiada, moment itu mungkin adalah
kenangan terindahku bersama ayahmu yang begitu penyayang dan dikenal baik oleh
semua orang, aku selalu ingat ayahmu pernah berpesan padaku agar selalu menjagamu
dan melindungimu dan akan kulakukan selama aku mampu untuk melakukannya, itu
sumpah ku dinda.
Kini
kau begitu terpukul atas kepergian ayahmu berkali kali kamu memanggil ayahmu
untuk bangun kembali diatas pembaringannya, namun ayahmu tetap diam dan hanya
menyungging senyum, senyum yang menawan yang akan menggetarkan hati bagi siapa
saja yang melihatnya. Sementara aku di sini disampingmu meraih pundakmu dan
membiarkan air mata mu jatuh di dadaku.