Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang
terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan
alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan
warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang
menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan
angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan
kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba mentari jatuh terbenam ke dasar laut.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. Aku
ingat betapa kau selalu ingin melihat matahari yang sedang terbenam
“barangkali cahaya keemasan dari
matahari terbenam ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kuambil cahaya
keemasan dari matahari terbenam itu sebelum terlambat, ku potong pada empat
sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi
dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan
menyukainya karena kamu tahu itulah cahaya keemasan dari matahari terbenam yang
selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur
yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada
suatu senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang
matahari terbenam sambil berangan-angan dan bertanya-tanya apakah semua ini
memang benar-benar telah terjadi. Kini pemandangan itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang
berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena cahaya keemasan dari
matahari terbenam yang sedang mereka nikmati telah hilang. Kulihat cakrawala
itu berlubang hitam.
Dinda sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah
sampai ke motorku, ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang
menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil cahaya matahari itu! Saya lihat dia mengambil cahaya
matahari itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera
naik motor dan tarik gas.
“kejar dia! Kejar dia”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut motorku tanpa perasaan panik. Aku sudah
berniat memberikan cahaya keemasan dari matahari yang sedang terbenam itu
untukmu dan hanya untukmu saja Dinda. Tak seorang pun boleh mengambilnya
dariku. Cahaya yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas
karena meskipun ku simpan dalam saku tapi cahaya matahari yang sedang terbenam
itu tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya nya itu memang
memancar ke segala arah,sehingga motorku itu melaju dengan nyala cemerlang ke
aspal maupun ke angkasa.
Berita tentang hilangnya matahari terbenam telah tersebar ke mana-mana. Dan
potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu cahaya matahari yang sedang
tenggelam saja sudah paniknya seperti
itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Sampai matahari terbit, Bagaimana kalau setiap orang mengambil setiap
waktu matahari bersinar untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah
waktunya dibuat cahaya matahari tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas
dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya cahaya matahari
diproduksi besar-besaran supaya bisa
dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Cahaya matahari! Cahaya matahari! Cuma seribu tiga!”
Di jalan ramai motorku melaju agak cepat. Aku harus hati-hati karena semua
orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang
tetap gemilang tanpa mathari tenggelam membuat cahaya keemasan dari dalam
sakuku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli
apakah cahaya keemasan dari matahari
yang sedang tenggelam hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa
waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting
matahari bercahaya kuning keemasan itu ada atau hilang. Cahaya itu cuma penting untuk turis yang suka
memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah cahaya keemasan
yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu
memberi peringatan.
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi Kutancap gas dan
menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh
raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu
seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap
yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan
bagi orang-orang di bawah tanah.
Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak
pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka
kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat cahaya
keemasan dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu.
Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah cahaya keemasan ini
kuserahkan Dinda.
Tapi Dinda, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut
kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk
mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan
lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris
tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Motorku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di
antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi
tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang
tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana.
Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku
ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu
melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan
main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan
diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak
cukup untuk melihatku. Kurabah cahaya keemasan dalam kantongku, cahayanya yang
merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah
dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar
bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung
gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin
surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun
tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak
memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini
lebih baik daripada harus menyerahkan cahaya keemasan ini Dinda.
Di ujung gorong-gorong,di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke
bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga.
Kamu boleh tidak percaya Dinda, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu
menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku
ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil cahaya
keemasan itu untukmu Dinda. Sebuah pantai dengan senja yang
bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada
mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Jadi, meskipun persis sama,tapi
bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan.
Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak
yang berdesis-desis.
“semua itu memang tidak perlu. cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering
malu sendiri melihat semua itu. Dinda, apakah semua itu mungkin diterjemahkan
dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini
kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu
kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada
tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan
burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan
sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana.
Aku tak habis pikir Dinda, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa cahaya
keemasan dari matahari terbenam yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta
itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana
orang-orang ribut kehilangan cahaya itu….
Aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi
kegelapan yang basah. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku
yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak
gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi
helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah
tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari motorku. Aku beranjak menemuimu Dinda, dan Sepanjang
jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…