(Dinda IX) Cahaya Keemasan

1 komentar


Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba mentari jatuh terbenam ke dasar laut.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. Aku ingat betapa kau selalu ingin melihat matahari yang sedang terbenam
“barangkali cahaya keemasan dari  matahari terbenam ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kuambil cahaya keemasan dari matahari terbenam itu sebelum terlambat, ku potong pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah cahaya keemasan dari matahari terbenam yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada suatu senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang matahari terbenam sambil berangan-angan dan bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini pemandangan itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena cahaya keemasan dari matahari terbenam yang sedang mereka nikmati telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang hitam.

Dinda sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke motorku, ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil cahaya matahari itu! Saya lihat dia mengambil cahaya matahari itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera naik motor dan tarik gas.
“kejar dia! Kejar dia”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut motorku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan cahaya keemasan dari matahari yang sedang terbenam itu untukmu dan hanya untukmu saja Dinda. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun ku simpan dalam saku tapi cahaya matahari yang sedang terbenam itu tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya nya itu memang memancar ke segala arah,sehingga motorku itu melaju dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Berita tentang hilangnya matahari terbenam telah tersebar ke mana-mana. Dan potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu cahaya matahari yang sedang tenggelam  saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Sampai matahari terbit,  Bagaimana kalau setiap orang mengambil setiap waktu matahari bersinar untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat cahaya matahari tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya cahaya matahari diproduksi  besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Cahaya matahari! Cahaya matahari! Cuma seribu tiga!”

Di jalan ramai motorku melaju agak cepat. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa mathari tenggelam membuat cahaya keemasan dari dalam sakuku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah cahaya keemasan  dari matahari yang sedang tenggelam hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting matahari bercahaya kuning keemasan itu ada atau hilang.  Cahaya itu cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah cahaya keemasan yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat cahaya keemasan dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah cahaya keemasan ini kuserahkan Dinda.
Tapi Dinda, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Motorku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah cahaya keemasan dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan cahaya keemasan ini Dinda.
Di ujung gorong-gorong,di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Dinda, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil cahaya keemasan itu untukmu Dinda. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis.
“semua itu memang tidak perlu. cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Dinda, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Dinda, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa cahaya keemasan dari matahari terbenam yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan cahaya itu….

Aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari motorku. Aku beranjak menemuimu Dinda, dan Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

 
Continue reading →

Labels